20. Ilyasa

42 9 12
                                    

ILYASA MENUNGGU kami di teras toko. Ia bersandar di daun pintu. Posenya terlihat santai, tapi tidak dengan tatapan mata Ilyasa. "Kayaknya seru ya."

Aku dan Anka saling pandang. Kemudian Anka-lah yang maju lebih dulu. Cowok itu tiba-tiba merangkul Ilyasa. Dengan sengaja ia menggeretnya agar mau masuk ke dalam toko. Ilyasa berusaha melepaskan diri.

"Gimana kabarnya, bro?" tanya Anka.

"Lepasin, Ka. Le-herku—"

"'Kangen' katamu?! Lebay, baru juga ditinggal sebentar." Anka menengok padaku. "Ayo, Zar. Kita dengerin Ilyasa sambil minum teh."

Naphthalene

Ilyasa mulanya tidak mau bicara. Ia diam memojok di sudut ruangan. Alih-alih berhadapan dengan kami, Ilyasa malah betah melihat tembok. Anka sudah merayu. Cowok itu bahkan mencolek dagu Ilyasa agar tidak merajuk. Justru Ilyasa geli, sedangkan aku meringis jijik.

Kusikut lengan Anka. Aku melotot padanya. Ia mengangkat bahu dan ekspresinya seakan-akan mengatakan emang salahku di mana? Aku pengin hibur dia. Akhirnya aku turun tangan merayu Ilyasa.

Ilyasa tahu aku berada di sampingnya, namun ia diam saja. Kepalanya perlahan berpaling dariku. Leher itu terkunci rapat agar tak balik badan saat kusapa. Aku menarik ujung lengan baju Ilyasa. Tangannya bergerak sebentar, namun itu hanya sekilas.

Aku menengok ke belakang. Dengan bahasa isyarat aku meminta saran Anka. Ia mengangkat bahu. Anka menatap remeh: alah nanti ngambeknya kelar. Aku melotot lebar pada Anka.

"Aku mau nongkrong ke toko sebelah. Kalian berdua reunian sana sampai puas." Anka meregangkan badan sambil mengerang. Ia pergi meninggalkan toko sambil menggaruk perutnya sendiri. "Susah memang jadi obat nyamuk."

Ilyasa terpancing dengan omongan Anka, namun cowok itu pergi lebih dulu. Saat Ilyasa menoleh, mata kami tak sengaja bertumbukan. Ilyasa hendak melengos, namun kutahan pipinya agar tak berpaling dariku.

Telinga Ilyasa mendadak semerah tomat. Dengan cepat ia menarik wajah dari jangkauan tanganku. Ilyasa menggaruk leher—yang kutebak—tidak gatal. Ia tiba-tiba salah tingkah sendiri.

"Aku udah nunggu lama, tapi kamu gak muncul-muncul." Aku melempar senyum padanya. "Jadi Anka bawa aku keliling cari hutan gaib."

"Oh hutan itu," jawab Ilyasa. Matanya tidak fokus menatapku. "Kalian ngapain aja di sana?"

"Cuma ngobrolin konsep dunia nol lebih jauh." Sepintas aku teringat dengan kefrustrasian Anka mencari jati diri. "Ternyata sistem dunia ini rumit, ya." Tanpa bisa kutahan, suaraku melirih. Aku membayangkan orang-orang di sini kesulitan menghadapi cobaan.

"Kenapa murung begitu?" Ilyasa menatapku khawatir. "Apa Anka merundungmu?!"

"Enggak, kok!" Sepertinya diciprati air tidak masuk pem-bully-an. "Dia sabar. Aku jadi sedikit paham. Kalau Ilyasa sendiri gimana?"

"Agak sulit, tapi ada satu yang menarik."

"Mau dengar, dong! Aku juga mau cerita-cerita pas Lui bawa aku ke dunia nol."

"Lui bawa kamu ke dunia nol buat apa?"

Kami akhirnya bertukar cerita di teras belakang. Kami duduk di tangga sambil menikmati teh buatan Anka. Aku mendapatkan semua bagian pengalaman Ilyasa, namun anak cowok itu tidak mendapatkan seluruh ceritaku.

Aku iseng menulis pengalaman di selembar kertas. Poin-poinnya tertulis jelas, namun Ilyasa tidak melihat apa pun. Ilyasa tidak frustrasi dengan keanehan ini. Anak cowok itu tersenyum mendengar ceritaku.

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang