18. Menjelajah Bersama Anka

91 17 13
                                    

ILYASA BELUM kembali. Aku menunggu cowok itu di padang rumput, tapi batang hidungnya tak kunjung tampak. Rerumputan melambai liar, gemerisik dedaunan mendesis padaku. Rambutku ditarik oleh kencangnya tiupan angin seakan-akan aku sedang diusir.

"Mau sampai kapan nunggu di sana? Panas, loh!" teriak Anka di belakangku. Aku sepenuhnya mengabaikan panggilan itu. Pria itu berdecak keras. Ia menyodorkan payung. "Emang gak kepanasan?"

"'Kan kita punya visi beda, Ka."

"Ambil aja." Anka memaksaku menerima pemberiannya. Anka memproteksi dirinya sendiri dengan topi dan payung. "Tenang, dia pasti pulang."

"Lamanya ...."

"Di sini 'kan gak ada waktu, Zara. Enggak ada kata 'lama'."

"Tapi terasa lama." Aku menekuk lutut dan memeluk diri sendiri. Angin di sini sangat dingin, namun Anka tidak merasakan itu. Seharusnya payung yang ia kenakan terbang, tapi sekujur badan pria itu kokoh.

"Ayo bangun." Anka menarik tanganku. "Gak usah nunggu Ilyasa. Nanti dia bakal balik sendiri."

"Tapi aku pengin ngomong sama dia soal sesuatu—"

"Di toko."

"Enggak mau—"

"Di toko."

"Tapi Ilyasa—"

"Toko."

Anka memberiku teh andalannya. Kemudian ia menghadap kipas angin yang menyala kencang. Rambut Anka berkibar ke belakang sampai-sampai dahinya kelihatan lebar. "Kenapa aku harus punya visi segersang itu?" Ia mengeluh. "Jadi gimana study tour-mu bareng Lui?"

Aku memainkan gelas di tangan. Jujur aku masih belum akrab dengan Anka. Jadi aku sekadar memberikan suara 'hmm' panjang. Pada akhirnya aku menjawab, "Gak tau."

"Sorry maksa kamu. Tapi kamu udah kelamaan di sana. Aku kasihan."

"Katamu di dunia ini enggak ada konsep waktu, kenapa bilang lama?"

Anka berdecih. "Kutarik omonganku."

Aku terkekeh kecil. "Sebenarnya aku cuma terlalu semangat cerita ke Ilyasa soal pengalamanku."

Anka mematikan kipas anginnya. "Bukannya kamu gak bakal bisa spoiler ke dia, ya?"

"Betul, pasti bakal sia-sia kalau Ilyasa belum tahu riwayat hidupnya. Aku pengin ngobrol soal orang misterius yang gak ada wujudnya."

"Setan?"

Ah dia memberi reaksi serupa dengan Lui. Aku merasa itu bukan setan. Ia seperti manusia pada umumnya. Namun lidahku tertahan saat ingin menceritakan ini pada Anka. Aku enggan ....

"Aku gak maksa, kok. Kalau gitu aku mau bobok." Anka menghidupkan kipas anginnya lagi. Ia berbaring menghadap kipas angin yang gear box-nya sengaja dikunci untuk Anka sendiri. "Yang pasti gak usah nunggu di luar. Aku tahu kita punya visi beda, tapi aku lihat kamu kayak lagi berdiri di tengah padang pasir." Anka bergerak memunggungiku. "Aku gak tega lihatnya," lirih Anka.

Aku ikut berbaring memunggunginya. "Makasih."

Ada sedikit perasaan aneh saat Anka menolongku. Sedikit canggung, namun bukan berarti aku tidak nyaman. Ia tidak semenyebalkan Lui. Mungkinkah karena ia teman Ilyasa? Jadi apa pun yang berkaitan dengannya otomatis kuanggap baik?

Aku bangkit dari posisiku. Kulihat Anka setia dengan posisi tidurnya. Ia bahkan berbaring tanpa sehelai alas. Biasanya punggung orang yang terlelap pasti kembang-kempis mengikuti irama paru-paru, namun Anka sama sekali tak bergerak.

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang