Ping memarkirkan mobil yang kami kendarai disebuah warung kecil pinggir jalan. Di seberang warung tersebut, ada sebuah gang kecil yang harus ku lalui dengan berjalan kaki, untuk sampai dirumah Tin. Akses jalannya tidak begitu lebar, dan hanya cukup untuk di lewati sepeda motor saja.
Aku berjalan dengan rasa khawatir yang menyelimutiku, diikuti oleh Ping yang berjalan mengikutiku dibelakang.
Beberapa orang terlihat berlalu lalang dari jalanan ini, karena ini akses satu-satunya yang biasa mereka gunakan untuk menuju jalan utama.
Tak membutuhkan waktu lama, aku tiba di sebuah rumah sederhana diujung gang, tempat dimana Tin dan ibunya tinggal. Terdapat bendera kuning yang di pasang pada tiang di depan halaman. Suasananya cukup sepi, hanya beberapa orang yang terlihat di sekitar halaman rumah tengah mempersiapkan tempat dan beberapa karangan bunga yang mungkin akan digunakan untuk keperluan mengkremasi jenazah Ny. Ramida.
Tidak begitu banyak orang yang datang. Sepertinya mereka hanya bagian dari tetangga atau teman dekat dari keluarga ini di lingkungan tempat tinggalnya.
Aku melangkah perlahan, menatap ke sekitar dengan perasaan sedih. Mataku terus menelusuri area tersebut, mencoba menemukan pemuda yang mendorongku hingga datang ke tempat ini.
"Cari siapa?" Sapa salah seorang lelaki paruh baya yang menghampiriku. Ia menatapku dengan aneh, seperti orang yang hendak mengintimidasi.
Aku yang terkejut mendengar pertanyaan tersebut reflek berbalik ke arah suara itu dari arah belakangku. "Oh, Tin" Ujarku dengan canggung.
"Tin? dia ada didalam. Masuklah" jelasnya
Aku hanya mengangguk pelan, tersenyum dengan sungkan kearah lelaki paruh baya itu. Ia kemudian berlalu pergi dan berbaur dengan beberapa orang yang sebelumnya tengah mempersiapkan karangan bunga di depan.
Aku berjalan perlahan, memasuki rumah Tin yang terlihat sangat sederhana. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di rumah ini. Dinding bata merah dengan pintu dan jendela yang terbuat dari kayu, yang di hiasi dengan ukiran mozaik abstrak. Beberapa tanaman hias yang tertata di setiap sudut dan depan rumah dengan sangat rapi, serta ruang tamu dengan 4 kursi kayu ukuran sedang yang ber nilai seni tinggi. Tidak ada barang-barang mewah ataupun hiasan mahal didalamnya. Di pojok ruang tamu ada lemari kayu kecil berisi bingkai-bingkai foto yang terpajang dan beberapa hiasan didalamnya, serta beberapa kerajinan tangan juga. Tanpa menebak pun aku sudah tahu siapa penghasil dari semua karya seni dirumah ini.
Dihadapanku saat ini, terlihat sebuah peti mati berwarna putih yang di letakkan diatas meja kayu, serta sebuah foto sosok wanita cantik dengan senyumnya yang menawan yang dihiasi dengan beragam karangan bunga mengelilinginya. Tak jauh dari peti tersebut, terdapat meja lain di depan yang di pergunakan untuk meletakkan bunga chrysanthemum bagi setiap teman maupun kerabat yang datang, sebagai ucapan perpisahan dan belasungkawanya.
Aku berjalan mendekat, meletakkan buket bunga mawar putih yang kubeli sebelumnya pada meja kecil di depan, kemudian melirik ke sebelah kananku.
Sosok pemuda yang duduk terdiam dan tak menghiraukan keberadaanku sama sekali. Pandangan matanya kosong, dan hanya fokus menatap peti mati didepannya. Badannya terlihat jauh lebih kurus dari yang terakhir kali ku temui. Dia tidak menangis, ataupun menunjukkan kesedihan di wajahnya. Yang dia lakukan hanya duduk diam dengan tatapan matanya yang kosong, seperti seseorang yang telah kehilangan harapan. Raganya hidup, namun jiwanya seolah telah mati. Tidak ada ekspresi atau emosi yang dia tunjukan, yang justru itu membuatku semakin sakit ketika melihatnya dalam kondisi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY STEP BROTHER, MY LOVER 🔞
FanfictionKrittin Kitjaruwannakul (TIN) seorang mahasiswa Seni berusia 20 tahun yang tidak pernah merasakan serta mendapat peran serta figur seorang ayah selama hidupnya. sejak ia lahir kedunia, Ia hanya hidup berdua dengan sang ibu yang bahkan saat ini suda...