005: Kawan Pertama

31 9 0
                                    

Aku berdecak kesal. Dengan langkah cepat—karena ingin segera beristirahat—aku berjalan ke pintu, lantas membukanya. Kulihat ada seorang pemuda seusiaku di sana.

"Oh, maaf!" ucapnya kaget. Dia tampak kebingungan. Dilihat dari barang-barang yang dia bawa dan pakaian yang dia kenakan, sepertinya dia anak dari golongan menengah, atau bahkan golongan bawah. Mungkin dia adalah anak dari kampung yang mendapat beasiswa sepertiku. Katanya dengan wajah yang bodoh, "Aku sedang mencari kamarku. Katanya, aku tinggal menempelkan kartu ini ke tempatnya. Aku sudah mencobanya satu per satu dari ujung lorong, tapi tidak ada yang cocok."

Aku menatap esper muda berambut ungu itu dengan datar. Matanya yang berwarna selaras pun balik menatapku sama datarnya. Dilihat dari ciri fisiknya itu, dia pasti seorang esper dari ras Astralian, ras esper yang mampu berkomunikasi dengan makhluk dimensi lain.

"Berikan kartumu!" pintamu berniat membantu orang udik ini. Hais~ padahal dia tinggal mencocokkan nomor yang ada di permukaan kartunya. Aku menatap ke kamar samping selepas membaca nomor pada kartu itu. Tanpa banyak bicara lagi, aku pun mengembalikan kartunya dan berkata, "Kamarmu ada di samping."

"Eh?" Bocah itu kembali menunjukkan wajah yang bodoh. "Aku sudah mencobanya tadi."

Hah? Lalu, dia tetap di lorong ini sepanjang proses lepas landas tadi? Dia pasti terbentur cukup parah di lantai.

"Coba lagi!" ucapku penasaran akan sesuatu. Meski dengan wajah yang masih kebingungan, dia tetap melakukan apa yang kusuruh. Ah, sungguh. Dugaanku benar. Caranya memasangkan kartu pada kunci pintu salah, makanya dia tidak bisa masuk ke kamarnya.

"Berikan itu padaku!" Aku kembali meminta kartu aksesnya. 

Dia pun memberikan kartu itu begitu saja. Tampak sekali bahwa dia adalah seorang anak desa yang jarang berinteraksi dengan teknologi semacam ini. Begitu aku membukakan karmanya, dia pun tampak cukup terkejut sendiri seolah baru paham akan sesuatu.

"Aku duluan," kata seraya mengembalikan kartunya. Aku tidak perlu memperingatkan dia untuk menjaga kartu itu baik-baik, kan? Yah, dia sudah besar. Harusnya dia sudah mengerti dengan sendiri. Toh, kondektur sudah menghimbau setiap penumpang tadi.

"Hai!" panggilnya lagi, membuatku menoleh, "Namaku Souli. Terima kasih atas bantuanmu."

"Aku Savil," balasku singkat, lalu langsung masuk lagi ke dalam kamarku. Dari luar, Souli kembali berterima kasih sambil mengucapkan namaku. Dia terlihat seperti anak yang penuh semangat dan mudah bergaul. Berbeda sekali denganku.

Perjalananku dari Stasiun Interglobal Esperheim sampai ke Akademi Burlian membutuhkan waktu sebulan penuh. Pesawat yang kutumpangi ini harus transit di tujuh stasiun interglobal yang berbeda setiap beberapa hari. DI setiap pemberhentian, para penumpang diperbolehkan untuk keluar dan jalan-jalan sampai waktu yang ditentukan, bisa jadi sampai dua atau tiga hari lebih. Kulihat, kebanyakan esper muda sepertiku pergi dari pesawat tiap kali burung besi angkasa ini menepi ke stasiun.

"Kamu tinggal di pesawat lagi kali ini?" tanya Souli di pemberhentian keenam kami. 

"Yah," jawabku teralihkan dari buku yang tengah kubaca. Entah bagaimana, bocah itu tiba-tiba sudah jadi teman pertamaku selama perjalanan ini. Dia sering sekali mampir ke kamarku, bermain-main, dan mengajakku mengobrol. Aku yang pendiam ini sampai kesulitan tiap kali berinteraksi dengannya, tapi dia tidak pernah menyerah terhadapku. 

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Aku cuman malas," jawabku singkat, "Juga, keluar itu cuman buang-buang uang."

"Hmm ... iya, sih." Souli setuju dengan pendapatku. Wajahnya tampak lesu seperti menyayangkan sesuatu. Sesaat kemudian, dia pun berkata, "Terakhir aku keluar, aku tidur di kursi tunggu penumpang. Kudengar, teman-teman yang lain menginap di hotel."

"Padahal kamu bisa pulang ke pesawat," komentarku datar. Aku menghela napas pelan. Kutaruh bukuku. Setiap kali bocah ini datang, aku tidak pernah bisa berkonsentrasi untuk membaca.

"Tempatnya sangat jauh waktu itu," kata Souli berdalih, "Aku ketiduran karena capek."

"Yah." Sebenarnya, aku tidak peduli, tapi aku tidak tega untuk mengabaikan bocah cerewet ini, "Itu nasibmu."

"Hai, Savil," panggilnya dengan wajah seperti hendak memohon, "Ayo kita keluar."

"Malas," balasku enggan.

"Hai, ayolah," pinta dia lagi, "Kamu harus sesekali keluar untuk mencari pengalaman. Jangan buang-buang waktumu sia-sia di sini."

"Tapi-" Aku tetap berusaha untuk menolak. Sayangnya, ucapanku terpotong oleh kalimatnya.

"Tidak perlu lama-lama kok," katanya membujuk, "Teman-teman yang lain juga mau keluar. Katanya, ada bioskop yang bagus di stasiun ini dan harganya terjangkau. Jadi, aku ingin sekali mengunjunginya."

Aku berpikir sejenak, lantas menghela napas. Entah mengapa, aku jadi tidak bisa menolaknya. Namun, aku memberi tahunya bahwa aku hanya akan menemaninya menonton bioskop saja, lalu langsung pulang.

"Tak masalah," ajak Souli, "Ayo! Yang lain sudah menunggu."

"Eh?" Aku tertegun sesaat, lalu mengikutinya.

"Wah-wah~" sambut seorang gadis di depan pesawat. "Bocah ansos itu benar-benar mau keluar. Weldy, aku menang taruhannya kali ini."

Ansos? Taruhan? Apa-apaan ini?


✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang