"Ah, maaf," kata anak itu, suaranya penuh antusiasme yang sama sekali tidak sejalan dengan situasi. Ia menatapku dengan mata berbinar, membuatku hampir bingung dengan kegembiraannya yang berlebihan. "Aku terlalu antusias karena ini pertama kalinya aku bertemu dengan esper sungguhan. Aku sangat penasaran, jadi aku bertanya begitu saja."
Aku hanya bisa menghela napas dalam hati. Apa yang baru saja dia tanyakan? Esper bisa terbang? Itu pertanyaan yang tak pernah kupikirkan.
Jika espers memang bisa terbang, para ilmuwan di Esperheim takkan repot-repot menciptakan kereta angkasa yang menghubungkan kota-kota di langit sampai Stasiun Angkasa Esperheim. Teknologi muncul bukan karena keinginan, tapi karena kebutuhan—karena kami, para esper, memiliki batasan, batasan yang tidak akan mudah ditembus oleh kekuatan alamiah kami.
"Namaku Bintang," kata bocah itu lagi, seraya mengulurkan tangannya dengan senyum polos yang hampir membuatku melunak. "Bintang Bumi Burlian. Siapa namamu?"
Aku menatap tangannya yang terulur, terdiam sejenak sebelum akhirnya menerima jabat tangan itu.
"Savil," jawabku, nadaku tetap datar, "Savil Ghenius."
Mata Bintang melebar, penuh dengan kekaguman yang sama sekali tidak kubutuhkan.
"Oh, seorang Esper dari Keluarga Ghenius?" katanya penuh antusias, seperti baru saja bertemu pahlawan dari dongeng. "Apa berarti kamu bisa mengendalikan api? Mata merah itu sangat keren. Yang biru juga keren. Ini pertama kalinya aku melihat seseorang dengan mata heterokromia. Oh, apa kamu mewarnai rambutmu? Katanya, para Esper Elementalis Api kebanyakan berambut merah."
Jantungku mencelos mendengar pertanyaannya. Api. Tak hanya itu. Air juga. Kata yang terus-menerus menghantuiku, menggali ingatan yang berusaha kuhilangkan. Api dan air. Keduanya merupakan kemampuan yang harusnya kuwarisi dari orang tuaku, tapi aku tidak menerimanya sama sekali. Karena itulah orang-orang memanggilku sebagai esper yang jatuh, si pembawa kutukan di tengah masyarakat esper.
"Tidak," jawabku, nada suaraku lebih dingin dari yang kumaksudkan. Aku pun menatapnya dengan tajam, berharap ia akan mengerti bahwa ia menyentuh luka yang belum sembuh. "Aku tidak bisa mengendalikan api. Hanya orang-orang jenius yang bisa melakukannya."
Bintang tampak bingung, alisnya bertaut seolah ia berusaha mengurai kata-kataku. "Hm? Kamu tidak mungkin diterima di Akademi Burlian ini kalau tidak jenius. Serius kamu tidak bisa mengendalikan api?"
Pertanyaannya yang polos itu menusuk lebih dalam ke hatiku. Bintang mungkin tidak tahu apa-apa tentang diriku, jadi aku tidak bisa marah padanya sama sekali. Aku pun mengalihkan pandangan, berusaha mengendalikan emosi yang meluap di dalam dadaku.
"Ya, serius. Aku tidak bisa mengendalikan api, dan itu tidak penting. Soal pertanyaanmu tadi..." Aku mengubah topik, berharap bisa mengakhiri percakapan ini secepat mungkin. "Tidak ada esper yang bisa terbang. Tidak ada sejarah yang mencatat itu. Kalau memang bisa, kereta angkasa tidak akan pernah diciptakan."
Bintang mengangguk pelan, sepertinya menyadari bahwa suasana percakapan telah berubah.
"Ah, begitu ya," katanya pelan. "Aku cuma penasaran."
Aku menatapnya lagi, kali ini dengan rasa sedikit bersalah. Bocah ini hanya penasaran, hanya kagum pada dunia espers yang tampaknya begitu jauh dari jangkauannya. Aku seharusnya tidak marah padanya, tapi pada saat yang sama, setiap pertanyaannya adalah pengingat yang tak kuinginkan—pengingat bahwa aku bukanlah seperti yang seharusnya.
"Maaf kalau aku terdengar kasar," kataku akhirnya, menghela napas. "Aku hanya... lelah."
Bintang tersenyum lebar lagi, kali ini dengan lebih lembut, seolah paham meski mungkin dia tidak sepenuhnya mengerti. "Tidak apa-apa, aku mengerti. Terima kasih sudah menjawab pertanyaanku."
Aku mengangguk dan mulai berjalan pergi, berharap bisa menemukan kedamaian dalam kesendirian. Namun, saat aku melangkah, suara Bintang kembali memanggilku.
"Savil," katanya, membuatku berhenti. "Mungkin kamu tidak bisa mengendalikan api, tapi aku yakin ada sesuatu yang luar biasa tentangmu. Mereka tidak akan menerimamu di Akademi Burlian kalau kamu tidak punya sesuatu yang istimewa."
Kata-katanya membuat langkahku terhenti sejenak. Aku menoleh ke belakang, melihatnya berdiri di sana dengan senyum kecil di wajahnya.
Aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya mengangguk pelan sebelum melanjutkan langkahku mengikuti teman-teman esper yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Ciencia FicciónSavil Ghenius lahir dalam keluarga elementalis ternama, tapi dia tak pernah merasa benar-benar menjadi bagian dari mereka. Rambut hitam legamnya adalah tanda kutukan-tanda bahwa dia adalah seorang esper yang "jatuh", gagal mewarisi kekuatan elemen d...