"Syukurlah dia selamat." Suara seseorang terdengar sebelum aku dan Reina masuk ke ruang rawat inap di Rumah Sakit Area-A. Itu suara Instruktur Iyva. Dari nadanya, ia terdengar sedih sekaligus lega, campuran perasaan yang sudah terlalu sering kami rasakan belakangan ini.
Instruktur Isy berhasil ditemukan. Dia selamat, tapi kondisinya lebih buruk dari yang kami bayangkan. Tulang-tulangnya patah, kantong energinya kering total, seperti wadah kosong yang seharusnya terisi kekuatan esper. Luka lepuh akibat tembakan plasma membekas di seluruh tubuhnya.
Hanya satu hal yang membuatnya bertahan. Ia sempat memanipulasi reruntuhan yang menimpanya sebelum tak sadarkan diri. Dengan kekuatan terakhirnya, esper elementalis logam tersebut membuat ruang sempit untuk bertahan hidup di tengah kehancuran.
"Ini semua salahku." Suara Instruktur Iyva pecah di ujung kalimatnya, menatap tubuh tak bergerak Instruktur Isy di ranjang itu. "Aku yang memintanya pergi ke sana. Kalau saja aku—"
"Instruktur," aku memotongnya, mencoba meredam rasa bersalah yang jelas membebani pikirannya. "Dia memilih itu sendiri. Dia tahu risikonya, dan dia tidak pernah menyesali keputusannya. Lihatlah, dia bertahan. Itu semua berkat tekadnya."
Instruktur Iyva menghela napas panjang, lalu menyentuh bahuku sebentar, tanda bahwa ia menghargai ucapanku meski rasa bersalah itu tetap membara dalam dirinya.
"Bagaimana yang lain?" Reina tiba-tiba bertanya, matanya menatap monitor di sebelah Instruktur Isy yang terus berbunyi lembut, menunjukkan kondisi kritisnya. Aku tahu dia menanyakan itu untuk menyiapkan diri terhadap kabar buruk yang mungkin akan kami terima.
"Kondisi mereka...," Instruktur Iyva bergumam pelan, berbalik menghadap kami, lalu melanjutkan dengan nada lebih mantap, "Weldy dan Isla belum sadarkan diri. Mereka telah memeras energinya sampai habis saat pertempuran. Kondisi mereka stabil, tapi tidak ada yang tahu kapan mereka akan bangun."
Aku merasakan hati ini sedikit terhimpit. Meski aku kesal dengan keangkuhan Weldy, tak dapat dipungkiri bahwa aksinya selama pertempuran telah berpengaruh besar terhadap misi. Entah berapa kali dia mengeliminasi sisi belakang musuh. Yang jelas, perbuatannya itu merupakan bantuan yang besar bagi UE-2.
Sedangkan Isla, dia telah bertahan dengan baik di akhir-akhir pertempuran. Berkatnya, UE-2 dan Beta-7 yang tersisa dapat bertahan sampai akhir.
"Dan Khal, Rahim?" tanyaku, penuh kekhawatiran.
"Mereka terluka parah, tapi masih hidup. Khal kehilangan banyak darah, Rahim nyaris kehilangan lengan kirinya. Mereka sudah melewati masa kritis," jawab Instruktur Iyva dengan suara yang terdengar tegar, meski jelas hatinya pedih.
Khal dan Rahim sempat bertarung melawan musuh yang menyusup ke Markas Area-X. Dengan sisa-sisa energi mereka yang telah menipis, keduanya melindungi personel UE-2 dan Beta-7 setelah ilusi Isla tumbang karena kehabisan energinya.
Reina mengepalkan tangannya. "Mereka benar-benar bertaruh nyawa demi melindungi stasiun ini. Tidak bisa kubayangkan kalau kita terlambat sedikit saja..."
Aku menatapnya sebentar. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku pun berkata, "Mereka tahu apa yang mereka lakukan, Reina. Kita semua tahu, pertempuran ini tidak akan mudah."
Dia menatapku dengan mata yang sedikit bergetar. "Aku hanya berharap kita bisa melakukan lebih..."
Aku tahu perasaan itu. Harapan yang tak pernah tercapai, perasaan bahwa kita tidak pernah cukup melakukan sesuatu untuk melindungi orang-orang yang kita cintai.
Dari UE-1, Blis dan Asta juga menerima luka yang tak kalah parahnya. Mereka tertembak di beberapa sisi, tapi bertahan dengan kekuatan terakhir mereka. Sementara itu, Lily Andin, esper penenun yang selalu ada di garis belakang UE-1, mengalami luka kecil. Dia mungkin tidak selalu tersorot dalam pertempuran, tapi berkat kekuatan buff dan debuff-nya, UE-1 bisa bertahan lebih baik daripada UE-2.
Aku berbalik menatap Reina, yang tampaknya memikirkan hal yang sama denganku.
"Bisa kubilang, tanpa Lily, UE-1 mungkin tak akan bertahan," kataku, mengangguk ke arah Reina.
"Ya," jawab Reina pelan. "Dia jarang terlihat, tapi perannya... tak ternilai. Kita beruntung memilikinya."
Namun, di antara semua itu, yang paling mengejutkan adalah Souli. Dia adalah orang pertama yang sadar setelah pertempuran, bahkan berhasil memulihkan energinya dengan cepat. Aku sampai iri padanya. Kami sama-sama seorang esper, tapi perbedaan kami begitu besar.
Tidak sepertiku yang merupakan seorang esper yang jatuh, dia merupakan seorang Astralian yang tangguh.
Instruktur Iyva melirik Souli yang sedang duduk di sudut ruangan, mengamati kami dari jauh. "Dia orang yang paling gigih. Ketika bangun, hal pertama yang dia tanyakan bukan tentang dirinya, tapi tentang anak-anak yang tertahan di Markas Area-X."
Aku mendengus pelan, campuran antara rasa kagum dan ketidakpercayaan. "Dia seharusnya lebih fokus pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia berpikir tentang orang lain setelah apa yang dia alami?"
Iyva tersenyum lemah. "Itulah Souli. Dia selalu memikirkan orang lain lebih dari dirinya sendiri. Kurasa, pantas baginya mendapat beasiswa penuh dari Esperheim. Dia adalah esper muda yang sangat berpotensi, sayangnya dia terlalu ceroboh dan keras kepala."
Aku hanya mengangguk pelan. Tanpa mengurangi rasa hormatku padanya, tetap aku merasa kesal. Dialah yang membuat UE-2 berada dalam masalah. Kalau saja dia menurut, korban dari pihak kami pasti ....
"Tolong jangan terlalu menyalahkannya, Savil," tegur sebuah suara lembut. Aku pun menoleh. Kudapati seorang gadis esper buta yang datang dengan senyum manisnya seraya berkata, "Dia akan menjadi orang besar di masa depan."
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dalam keluarga elementalis ternama, tapi dia tak pernah merasa benar-benar menjadi bagian dari mereka. Rambut hitam legamnya adalah tanda kutukan-tanda bahwa dia adalah seorang esper yang "jatuh", gagal mewarisi kekuatan elemen d...