015: Bujukan

21 7 1
                                    

"Aku diminta untuk membujukmu," kata Yuni menjelaskan, "Katanya, kalau aku yang bilang, kau mungkin akan bergabung dengan yang lain. Benarkah begitu."

"Tidak!" jawabku tegas. Memang apa hubungannya dia denganku. Kami bahkan jarang berinteraksi satu sama lain. Selain petualangan kemarin yang hampir membunuhku, tidak ada lagi pertemuan hebat antara aku dan dia.

"Cih! Kenapa kau sejujur itu?" protes Yuni sebal,  "Itu melukai harga diriku tahu."

"Oh." Aku tak peduli. 

"Savil!" serunya marah, entah apa yang membuatnya marah. Ia pun menenangkan hatinya sesat kemudian. "Hah ... jalanku memang masih panjang. Pokoknya, terima saja tawaran dari SIV. Toh, kau tak dikirim ke lini depan, kan? Apa masalahnya?"

Aku terdiam mendengar pertanyaannya itu. Kalau ditanya alasan, aku sudah menjawabnya kepada Souli tadi pagi. Yah, aku memang hanya tak ingin berpartisipasi saja sih. Aku juga tidak membutuhkan kompensasi dari OPV (Otoritas Planet Varsa) maupun nilai tambahan dari akademi. Jadi, aku tidak mau repot-repot melawan musuh yang mungkin akan membunuhku.

"Tidak bisakah kamu membantu demi keselamatan para pengunjung?" Yuni memberiku sebuah alasan. Namun, aku pun tidak tertarik dengan alasan itu. Aku bukanlah seorang pahlawan kesiangan atau tokoh utama dalam novel. Aku hanyalah esper jatuh yang ingin mencari tempat bernaung selain Esperheim.

"Sudahlah," kataku tak ingin berdebat lebih lama lagi. Aku juga hendak mandi dulu sekarang. "Pergi sana! Jangan ganggu aku lagi."

"Hai! Savil, tunggu-!" Aku tak mau memutuskan tautan pikiranku dengan Yuni. Kalau terus tersambung, entah berapa lama dia akan mengoceh.

Begitu selesai mandi, seseorang mengetuk pintu kamarku. Sebuah suara yang lembut pun terdengar meminta izin untuk bertemu. Begitu kubuka pintu kamarku, kulihat Orchis Mikier di sana. 

"Bisakah kita mengobrol sebentar?" tanya gadis buta berwajah ayu tersebut. Matanya yang bening menatapku seolah benar-benar sedang melihat. "Ada hal penting yang mau kubicarakan."

"Boleh," balasku menerima permintaannya. Aku menatap ke kamar sebentar. Ruang itu memang luas untuk satu orang, tapi terlalu sempit untuk dua orang mengobrol. Lagi pula, mengobrol dengan seorang gadis dalam satu kamar itu tidak baik menurutku.

"Ayo kita ke ruang makan," ajaknya selepas mendapat persetujuan dariku. Ia pun jalan duluan. Meski buta, ia bisa berjalan di lorong pesawat yang panjang tanpa alat bantu apa pun. Itu mungkin merupakan salah satu kekuatan prediksi khas rasnya. Mereka punya kekuatan unik yang jauh berbeda dengan ras esper lainnya.

Begitu sampai di ruang makan, kulihat hanya ada beberapa gadis esper di sana. Padahal, biasanya ruangan ini merupakan salah satu ruangan paling ramai di waktu-waktu senggang. 

"Teman-teman yang lain sudah pergi ke luar," jelas Orchis seakan tahu apa yang kupikirkan, "Mereka menerima permintaan dari SIV."

"Yah." Aku mengangguk paham. Meski nada bicara lemah-lembut begitu, entah mengapa ucapannya itu menusuk ke hatiku. Pikiran logisku pun mengirimkan sinyal bahwa gadis ini berbahaya.

"Aku langsung saja ke intinya," kata Orchis begitu kami duduk, "Toh, kamu tidak suka basa-basi, kan?"

Aku mengangguk. Itu tepat sekali. 

"Savil," panggil Orchis. Tangannya berusaha meraih jari-jemariku, tapi aku segera menariknya enggan. Ia pun berkata, "Tolong terimalah permintaan SIV. Aku yakin bahwa kamu akan sangat membantu meski tidak di lini depan."

"Aku baru saja mendapat tawaran itu kurang dari sejam yang lalu," kataku seraya menatap gadis buta itu curiga, "Kenapa kamu bisa tahu kalau aku mendapat tawaran itu? Apa seseorang juga memintamu untuk membujukku?"

"Tidak." Orchis menggeleng seraya tersenyum manis. "Bukannya kamu tahu kalau aku seorang Hinian? Aku hanya melihat sedikit masa depan."

"Apa aku ada akan menerima tawaran itu?" tanyaku penasaran. Kalau dia bilang ya, aku tinggal menegaskannya lagi saja bahwa aku tidak akan ikut. Kalau dia bilang tidak, memang begitulah niatku dari awal.

"Entahlah, itu tergantung pada dirimu sendiri." Jawaban Orchis berbeda jauh dari perkiraanku. "Aku melihat beberapa kemungkinan."

"Jadi?" Aku mengerutkan kening.

"Kuharap kamu ikut agar tidak ada korban dari pihak kita," pinta Orchis tulus, "Keberhasilan misi ini tidak bergantung pada satu atau dua orang saja. Semua orang harus bekerja sama dengan baik, termasuk dirimu."

"Memangnya tidak akan ada korban kalau aku menerima tawaran SIV?" tanyaku heran, "Pasti akan ada korban di setiap pertempuran."

"Yah, pasti memang ada korban," kata Orchis setuju dengan pendapatku. "Namun, setidaknya kita bisa meminimalkan korban dengan komando yang baik dari pusat."

Aku terdiam mendengar ucapannya. Ucapan gadis buta itu memang tidak salah. Selain meningkatkan keberhasilan misi, komando yang baik akan meminimalkan korban jiwa.

"Tapi kenapa harus aku?" tanyaku heran, "Kamu memintaku seolah aku adalah seorang komandan yang ahli, padahal aku hanyalah mahasiswa non-kombatan biasa."

"Tidak, kamu bukan mahasiswa biasa, Savil," sangkal Orchis seraya menggeleng, "Kamu kan mahasiswa kelas atas yang meraih nilai akademik dan strategis tertinggi di ujian penerimaan. Selain itu, kamu adalah komandan peringkat pertama di Akademi Militer Elementalis."

"Siapa yang membocorkan informasi itu?" tanyaku seraya menggebrak meja. Aku menatap Orchis marah. Untuk sesaat, aku lupa bahwa gadis itu buta. 

"Itu rahasia dagang," jawab Orchis dengan senyum manis yang kini tampak menjengkelkan, "Lagi pula, bukannya sudah kubilang bahwa aku berasal dari ras Hinian? Kamu pasti mengerti, kan?"

"Cih!" Aku memalingkan wajah darinya. Sepertinya, pembicaraan ini hanya buang-buang waktu. Lebih baik aku pergi saja dari sini.

"Dia sungguh tak ikut?" suara bisik-bisik terdengar di kejauhan, "Memalukan. Dia satu-satu cowok yang absen."

"Memalukan."

"Reina dan Lily bahkan ikut bergabung."

"Esper yang jatuh itu memang pengecut."

Aku melotot tajam ke sekelompok gadis yang duduk di sisi lain kantin. Mereka pun segera membuang muka dariku. Tampak keangkuhan pada wajah mereka. Itu membuatku semakin enggan untuk pergi.

"Savil," panggil Orchis tepat sebelum aku bangkit dari dudukku, "Kumohon, aku tidak ingin ada teman kita yang mati."


✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang