053: Farsisian?

6 1 0
                                    

"Makan siang sudah siap," ucap pria tua berpakaian khas abdi dalem Kadipaten Burlian itu dengan sopan, membungkukkan badan sedikit. "Lalu, adipati muda mengundang Tuan Ghenius untuk menghadap padanya secara pribadi selepas makan siang."

Bintang menoleh padaku, menyeringai kecil, meskipun matanya sedikit menyipit saat mendengar kabar itu.

"Wah, kakanda mengundang temanku?" tanyanya dengan nada yang tampak enteng. Senyumnya kembali seperti semula, lebar dan tanpa beban. "Yah, kalau itu yang mau dilakukan adipati muda, biarkan saja."

Aku merasakan ketegangan halus di balik sikap santai Bintang, seolah ada hal yang lebih dari sekadar undangan makan siang. Pria tua itu hanya mengangguk patuh, lalu melangkah ke arah ruang makan, sementara kami semua mengikutinya.

Langkah kami menggema di lorong marmer panjang yang mengilap, diterangi lampu LED tipis yang terpasang di sepanjang langit-langit. Lorong itu tampak futuristik dengan dinding-dinding kaca transparan di salah satu sisi yang memperlihatkan pemandangan taman Keluarga Burlian di luar.

Taman-taman itu terlihat subur, dengan pepohonan yang ditata rapi dan bunga-bunga berwarna cerah yang tertata seperti lukisan alam. Air mancur modern di tengah-tengah taman mempercantik suasana, airnya memancur anggun mengikuti pola geometris yang estetik.

Ada keindahan dan kesejukan yang tak bisa diabaikan di sini, namun entah kenapa, keindahan itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa tidak nyaman yang mulai muncul dalam diriku. Pikiran tentang pertemuan dengan adipati muda terus menghantui, dan aku tidak bisa mengabaikannya.

Saat kami berjalan semakin jauh, suara langkah-langkah kaki kami terasa semakin sunyi, seakan menyatu dengan desain minimalis dan canggih di sekeliling lorong. Rasanya seperti melangkah di antara seni modern dan alam yang harmonis. Namun, ketegangan yang menggantung di udara antara aku dan Bintang tetap tak terelakkan.

Bintang menoleh tiba-tiba, suara rendahnya mengejutkanku, "Maaf, Savil."

"Eh, kenapa?" Aku menoleh padanya, merasa sedikit bingung dengan permintaan maaf yang mendadak itu.

"Kakakku... pasti akan merepotkanmu," jawabnya dengan nada sedikit lebih serius. Di belakangnya, Bulan mengangguk setuju, wajahnya menampilkan keprihatinan yang sama. "Aku mewakilinya untuk meminta maaf terlebih dahulu."

"Oh~" Aku berusaha tetap tenang, meskipun sekarang ada perasaan seperti masuk ke dalam situasi yang tidak terduga. "Tidak apa-apa. Kurasa aku bisa menanganinya."

Meski kata-kata itu keluar dengan santai, ada perasaan was-was yang mengendap di dalam pikiranku. Adipati muda? Kenapa dia mengundangku? Meski sudah terbiasa menghadapi orang-orang penting seperti kakekku di Esperheim, rasanya tetap menegangkan karena orang yang akan kutemui adalah orang nomor dua yang paling berkuasa di planet ini. Tidak, bahkan mungkin tidak hanya di Planet Burlian saja, tapi di seluruh Sistem Bintang Surya dan sekitarnya yang merupakan wilayah kadipaten ini.

Kami terus berjalan, melintasi lorong yang seolah tak berujung, dan ketika kami sampai di pintu menuju ruang makan, pikiranku masih terganggu oleh undangan misterius itu.

Untungnya, Ainun tiba-tiba memanggil namaku, menyelamatkanku dari pusaran pikiranku.

"Oiya, Savil," katanya, menoleh padaku dengan ekspresi penasaran yang kini lebih jelas. "Aku memang sudah mendengarnya dari Bintang, tapi apa benar tidak ada esper yang bisa terbang?"

Pertanyaan Ainun membuatku berhenti sejenak, tapi aku cepat-cepat menjawab dengan tenang.

"Tidak," kataku sambil menggeleng pelan. "Aku belum pernah membaca literatur apa pun tentang esper yang bisa terbang. Kalau ada esper yang bisa terbang, kami mungkin tidak perlu membuat pesawat atau kereta angkasa."

Yuni, yang berjalan di samping Ainun, menambahkan, "Benar, selain Elementalis dan Eklipsian, ada juga ras Astralian dan Hinian. Astralian memang bisa 'terbang', tapi itu karena mereka menunggangi makhluk astral mereka, bukan karena tubuh mereka bisa terbang. Sedangkan Hinian, mereka lebih mirip cenayangnya para esper. Mereka tidak punya kemampuan fisik untuk terbang, tapi mereka punya keahlian spiritual untuk melihat masa lalu dan masa depan."

Ainun tampak merenung sejenak, ekspresinya berubah sedikit lebih serius. Wajahnya masih menyimpan keraguan, seolah ada yang ingin dia katakan tapi tak yakin bagaimana menyampaikannya. Sesuatu yang sulit dijelaskan terlihat di matanya—seperti dia sedang memikirkan sesuatu yang tidak sepenuhnya dia pahami.

Dia lalu mengangkat pandangannya padaku lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih tajam.

"Benarkah?" tanyanya dengan suara yang pelan, tapi kali ini lebih dalam, penuh keraguan dan kebingungan. "Tapi... bagaimana dengan Farsisian? Bukankah itu juga salah satu ras esper?"

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang