002: Keberangkatan

35 10 0
                                    

"Kenapa aku harus ikut mengantarnya?" tanya Erwin kesal. Padahal dia 3 tahun lebih tua dari, tapi dia kekanak-kanakan sekali. Lihatlah betapa bencinya ia mengantar kepergianku. Harusnya, ia senang karena ini adalah hari terakhirnya bertemu  denganku. 

"Dia kan adikmu," jawab kakek seolah tak peduli dengan kebencian yang Erwin tujukan padaku, "Apa salahnya mengantarkan adik bungsumu pergi menuntut ilmu ke luar Esperheim?"

"Aku mau cepat-cepat ke Baiyusia," kata Erwin tanpa memperhatikan adabnya pada Kepala Keluarga Ghenius. Sikapnya itu membuat geram beberapa tetua Ghenius lain yang ikut mengantarku. Ah, mereka hanya mengikuti kakek saja sih.

"Aku pergi dulu," ucapku tak ingin mendengar lebih jauh kebencian kakak bungsuku itu. Kakek pun mengangguk. Begitu melihatnya, aku pun berpaling pergi untuk naik ke kereta angkasa yang akan mengantarku ke Stasiun Interglobal Esperheim di langit sana. Sesaat sebelum kakiku menginjak gerbong kereka, tetiba seseorang menahan pundakku.

"Ayah menitipkan ini untukmu," kata orang yang menahanku itu seraya memberikan sebuah emblem Keluarga Toya, keluarga ayahku yang sekaligus menjadi nama belakang dari saudara-saudaraku. "Aku minta maaf kalau selama ini sudah berbuat jahat denganmu."

"Aku tidak peduli," jawabku dingin pada kakak sulungku itu, Alteir Toya. Kuterima emblem yang diberikannya semata-mata karena ayah yang menitipkannya. Aku sesaat heran, mengapa ayah tidak memberikannya langsung dan malah menitipkannya pada bocah ini?

Namun, aku segera mengusir pertanyaan itu. Toh, ini bukan urusanku. Cukup beruntung aku bisa mewarisi satu hal dari ayahku yang telah tiada.

"Aku mewakili Shana dan Erwin juga," lanjut Alteir meski aku bilang tak peduli dengannya, "Mereka berdua hanya belum mengerti. Kuharap, kamu bisa memaafkan kami suatu saat nanti."

Aku yang sudah berada di dalam kereta angkasa pun menoleh pada Alteir. Kutatap wajahnya yang tersenyum kecil. Entah apa yang sudah terjadi padanya, tapi ini adalah pertama kalinya aku melihat wajahnya yang sesendu itu terhadapku.

Pintu kereta pun tertutup, menelanku di dalam perut ular besi tersebut. Operator kereta mengingatkan agar para penumpang segera duduk demi keamanan. Sesaat kemudian, kereta terangkat di udara, hendak meluncur ke langit.

Aku duduk di dekat jendela, memandangi stasiun keberangkatan yang perlahan tampak luasnya dari udara. Hatiku terasa pedih, penuh dengan campuran antara kebencian, kesedihan, dan harapan. Aku mungkin akan segera bebas dari semua penderitaanku di Esperheim ini. Namun, aku juga belum tahu apa saja yang akan kuhadapi di luar sana nanti. 

Kereta angkasa mulai bergerak, meninggalkan semua kenangan pahit dan beban yang kutanggung selama ini. Emblem Keluarga Toya tergenggam erat di tanganku. Ketika merasakan permukaan timbul dari desainnya, aku pun dibuat bertanya-tanya kembali, "Apakah aku membutuhkan sesuatu seperti ini? Aki kan tidak pernah di terima di keluarga elementalis air itu?"

Saat kereta melesat ke langit, aku menatap ke depan seraya menggenggam erat-erat emblem keluarga ayahku itu di depan dada. Dalam hati, aku berusaha meyakinkan diri bahwa di Akademi Interglobal Burlian nanti, aku akan menemukan suatu yang tak bisa kuraih di Esperheim ini. Apa pun itu, termasuk tempat di mana aku akan benar-benar diterima oleh siapa saja.

Aku memandang lagi ke luar jendala. Tampak Kota Aganisia yang semakin mengecil di bawah sana. Tidak hanya Aganisia, Negara Federasi Elementalis pun juga tampak mengecil. Aku bisa melihat keindahannya yang megah selama beberapa saat sampai kereta meninggalkan atmosfer terdasar Esperheim dan mempercepat laju di langit.

"Nona Reina!" panggil seorang wanita bersuara nyaring, "Kereta akan segera menembus Unosfer. Tolong segera duduk di kursi Anda."

"Aku mau mencari anak itu dulu! Dia harusnya ada di sekitar sini." jawab seorang gadis bermata heterokromia. Mata sebelah kanannya berwarna biru cerah, menunjukkan bahwa ia adalah gadis esper dari ras elementalis angin, sedangkan mata kirinya berwarna biru gelap, menunjukkan bahwa dia mewarisi DNA ras elementalis air. 

"Esper berdarah campuran," batinku yang kemudian berkaca pada diriku sendiri, "Sama sepertiku."

Kepala gadis itu dibalut kain yang tebal, menutupi seluruh rambutnya. Aku jadi tidak bisa menebak elemen apa yang dominan pada dirinya. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Saat tatapan kami bertemu, tiba-tiba ia langsung memalingkan wajahnya dariku.

Sikapnya itu membuatku sedikit tersinggung. Aku yakin sekali, dia pasti tak berbeda jauh dengan para esper elementalis lain yang memandangku sebelah mata. Kuharap, aku tidak pernah berurusan dengannya. 


✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang