033: Manipulasi Mental

13 2 0
                                    

Kekacauan di markas pusat semakin intens. Suara alarm dan laporan darurat bergema di seluruh ruangan, seolah mendesak waktu yang semakin menipis. Kepalaku berdenyut, pandanganku mulai kabur. Aku mencoba fokus pada layar monitor, tetapi tak ada lagi yang bisa kuandalkan. Kedua unit yang kupandu terjebak dalam kekalahan. Mereka hanya bisa bertahan di balik ruang ilusi, berharap musuh tak menembusnya.

"Savil, dengarkan aku..." suara Yuni lagi. Lembut dan menenangkan. Kali ini, dia tak hanya bicara. Ada sesuatu dalam suaranya, sesuatu yang berusaha mengakar dalam pikiranku.

"Orchis melihatnya, Savil. Bantuan dari Burlian akan segera tiba. Masa depan kalian sudah terlihat. Kalian akan selamat."

Aku menghela napas panjang, berusaha mencerna kata-katanya, tapi bagaimana mungkin? Ketidakpastian masih merajalela di pikiranku.

"Itu kalau mereka benar-benar datang tepat waktu!" Aku berteriak dalam pikiranku, tak peduli apakah Yuni mendengar atau tidak. "Bagaimana mungkin aku bisa tenang kalau mereka mungkin terlambat? Kami semua terancam musnah!"

Kepalaku semakin terasa berat. Pusing ini mengaburkan pandanganku, dan suara-suara di sekitarku mulai terdengar samar-samar. Namun, suara Reina tiba-tiba menyeruak, menguat seolah menampar pikiranku yang kacau.

"Bertahanlah, Rubah Perak!" serunya tegas. "Apa kamu akan menyerah semudah ini? Ahli strategi terbaik dari Akademi Elementalis tak mungkin menyerah sekarang!"

Aku mengepalkan tangan, gemetar. "Bagaimana aku bisa bertahan? Probabilitas kemenangan kita di bawah 5%! Semua yang kupikirkan, semua rencana—tak satu pun berhasil!"

"Dan apakah kamu tak bisa bertahan hanya untuk sedikit lagi?" tuntut Reina dengan nada lebih tajam, seolah mengguncang kesadaranku. "Kami semua membutuhmu, Savil! Teman-teman membutuhkan arahanmu!"

Aku tak bisa menjawab. Keraguan membanjiriku, menghantam setiap sudut pikiranku. Apa gunanya bertahan? Apa benar kami masih punya kesempatan?

Namun, saat Reina belum selesai dengan kata-katanya, tiba-tiba suara Yuni menyelinap ke dalam kesadaranku lagi, kali ini bukan hanya kata-kata biasa.

Dia mulai melantunkan syair perjuangan—indah dan menenangkan, tapi penuh kekuatan. Lembut, tapi menggelegar. Suaranya menyusup ke dalam setiap retakan di hatiku yang sedang hancur. Suara itu seperti meresap langsung ke dalam jiwaku, mengisi kekosongan yang sebelumnya penuh dengan rasa takut dan frustasi.

"Apa yang kau lakukan, Yuni?" aku bergumam dalam hati, terkejut sekaligus terdiam.

Yuni tak menjawab, tapi syairnya terus mengalun, semakin dalam. Dan dalam sekejap, segala kebingunganku mulai mereda. Frustrasi yang sebelumnya menghimpit, perlahan-lahan menghilang seperti kabut yang memudar di bawah cahaya pagi.

Hatiku yang sebelumnya berat, kini terasa lebih ringan. Rasa sakit di kepalaku mulai mereda. Satu demi satu, ketakutan yang mencekikku selama ini mulai lenyap. Rasanya seperti ada seseorang yang memelukku dari belakang—hangat, lembut, dan penuh kasih sayang.

Aku menutup mataku, merasakan kehadirannya. Hatiku tak lagi terhimpit. Ketenangan itu datang. Ketika kubuka mataku kembali, pandanganku jernih. Aku bisa melihat segala sesuatu dengan jelas. Pikiran-pikiranku mulai tersusun kembali. Untuk pertama kalinya, aku merasa bisa bernapas lebih lega.

Reina berbicara lagi, kali ini nadanya lebih tenang. "Apa kau sudah baikan sekarang?"

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "Ya... lebih baik."

Yuni masih menghubungkan pikiran kami bertiga, membuat keributan di markas pusat seakan lenyap dari telingaku. Semua kekacauan, semua kebisingan seakan memudar. Yang tersisa hanyalah ketenangan—sebuah momen yang hampir mustahil di tengah peperangan ini.

"Ayo, Savil, kita harus fokus. Teman-teman membutuhkan kita." Kali ini, suara Reina terdengar lebih lembut, nyaris seperti seorang sahabat sudah dekat.

Aku tersenyum kecil, sesuatu yang tak pernah kupikir bisa kulakukan di tengah keadaan seperti ini. Ya, kami belum kalah. Aku bisa merasakan kembali semangat di dalam diriku, berkat Yuni dan Reina.

"Baik... Kita belum selesai." Aku menarik napas dalam-dalam. "Kita harus menyelamatkan teman-teman kita."

Reina setuju. "Kita akan bertahan, Savil. Bersama-sama."

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang