054: Ras Kuno

8 2 0
                                    

"Farsisian?" Aku mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang janggal. Nama itu terdengar asing, namun di sudut pikiranku yang tersembunyi, aku merasa pernah mendengarnya di suatu tempat—mungkin dalam salah satu dari ribuan buku yang pernah kubaca. Tapi kenapa sekarang muncul lagi?

"Ya," jawab Ainun dengan lembut. Matanya menatapku dalam. "Menurut catatan sejarah kekaisaran, gadis esper dari Esperheim yang dulu melakukan pernikahan politik dengan keluarga kekaisaran adalah seorang esper dari ras Farsisian."

Aku menggali lebih dalam di benakku, mencoba menghubungkan setiap ingatan yang bisa kutemukan.

"Aku ingat sesuatu," kataku perlahan, membiarkan ingatan samar itu mengemuka. "Kalau tidak salah, mereka adalah ras esper kuno. Tapi... saat ini, mereka sudah tidak ada lagi di Esperheim. Data mengenai kemampuan mereka juga sangat minim, bahkan nyaris tidak ada yang tercatat dengan baik di arsip resmi Esperheim."

Ainun mengerutkan kening, ekspresi wajahnya seolah terjebak di antara keyakinan dan keraguan. "Itu memang aneh. Catatan kami juga tidak banyak, tapi aku yakin ada sedikit detail tentang kemampuan mereka."

"Apa itu?" tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu, nada suaraku lebih tajam dari biasanya. Farsisian—ras kuno yang terlupakan ini sepertinya menyimpan sesuatu yang lebih besar dari yang pernah kubayangkan.

Ainun terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, meski ragu-ragu.

"Manipulasi ruang dan waktu," katanya pelan, seolah kata-kata itu sendiri adalah beban yang sulit diucapkan. "Tapi... ugh, itu hanya dongeng yang dulu sering diceritakan oleh nenek moyangku. Aku tidak yakin apakah itu benar atau hanya legenda."

Aku menatapnya dalam-dalam, mataku mencari jawaban di balik keraguan di wajahnya. Manipulasi ruang dan waktu? Rasanya mustahil... tapi entah mengapa, sesuatu dalam diriku berbisik bahwa hal itu mungkin lebih dari sekadar dongeng. Ada yang menggetarkan di udara di antara kami—sebuah hawa yang mirip dengan apa yang kurasakan sebelumnya ketika pertama kali bertemu dengan Ainun tadi. Apa ini...?

"Putri Ainun," panggilku pelan, tapi jelas, mencoba menegaskan niatku. "Bolehkah aku melihat arsip-arsip itu?"

Wajah Ainun langsung berubah, matanya melebar sedikit, lalu dengan suara yang tiba-tiba lebih keras dari biasanya, dia berseru, "Jangan panggil aku putri!"

Semua orang di sekitarku—Bintang, Bulan, bahkan Yuni—tertegun mendengar seruan Ainun yang tiba-tiba. Bahkan aku pun sedikit terkejut. Wajah Ainun tampak sangat serius, lebih dari sebelumnya. Tatapan tajamnya seolah ingin menegaskan bahwa dia tidak ingin dibatasi oleh gelar bangsawannya, meskipun aku hanya bermaksud bersikap sopan.

"Maaf," kataku cepat, tapi Ainun tampaknya masih kesal dengan honorifik itu.

"Kita sudah sampai, silakan masuk," panggil si abdi dalem tua sebelum situasi semakin canggung. Dia menyelamatkanku dari harus membalas lebih lanjut. Kami semua melangkah masuk, dan begitu berada di dalam, aroma hidangan lezat segera menyambut kami.

Mataku langsung tertuju pada meja prasmanan yang dipenuhi berbagai macam makanan. Hidangan ini terlihat seperti untuk sebuah perjamuan besar, tapi yang lebih menarik perhatianku adalah seseorang yang duduk di ujung meja, dengan postur yang anggun dan penuh wibawa.

Adipati muda. Aku mengenalinya dari deskripsi Bintang, dan kehadirannya terasa kuat. Pria itu duduk dengan tenang, senyum tipis tersungging di bibirnya. Matanya menyapu kami dengan tatapan yang tenang namun penuh makna, seolah dia sedang menilai setiap gerak-gerik kami.

"Selamat datang, Adik-adik," suaranya dalam dan tenang, tetapi ada kekuatan di balik setiap kata yang diucapkannya. "Mari duduk dan nikmati hidangannya."

Aku melangkah maju, tetapi rasa gelisah yang samar mulai tumbuh dalam diriku. Ada sesuatu tentang undangan ini—tentang adipati muda dan segala suasana yang terasa aneh sejak aku tiba di tempat ini. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?

Aku menoleh sebentar ke arah Bintang, mencari tanda apakah dia merasakan hal yang sama denganku. Namun, yang kutemukan hanya seringai tipis di bibirnya, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Apa yang sebenarnya direncanakan oleh kakaknya?

Di tengah ruangan yang megah ini, aroma makanan yang lezat pun tidak bisa menutupi rasa tegang yang perlahan merayap di udara, mengepung jiwaku.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang