Chapter 1. Petir

55 8 0
                                    

Jika tak ada satu pun orang yang bahagia atas kehadiranku maka biarkanlah aku yang bahagia karena kehadiran orang lain.

"Lima... enam... dan...”

Lantas datang satu kilatan petir yang membuat langit gulita ini menjadi cukup terang. Gembiranya anak itu hingga timbul lengkungan pada sudut bibirnya.

“Tujuh! Terima kasih untuk tujuh petir karena telah menemaniku.” Hadirnya petir itu membuatnya kegirangan dan melompat riang.

“Kamu nggak takut petir?”

Suara asing itu terdengar di telinga Vanya—remang-remang namun tetap jelas. Ia kemudian mengedarkan pandangannya dan mencari sumber suara yang menggoyahkan perhatiannya.

“Kenapa harus takut?”

Belum sempat melanjutkan perkataannya, tiba-tiba anak perempuan itu ditarik paksa oleh seorang lelaki bertubuh gempal. Tangan Vanya kaku dan tak bisa memberontak. Namun, karena tenaganya masih sangat minim untuk melawan, lelaki itu pun berhasil membawanya pergi.

“Vanya mau dibawa ke mana, Pah? Vanya nggak mau ikut Om itu,” teriaknya sembari memukul keras punggung lelaki itu.

“Diam kamu! Ikuti saja apa yang Papah mau!”

Terlihat dengan jelas di hadapannya terdapat seorang pria yang mengenakan jas rapi. Pria itu memegang secangkir minuman keras dengan tatapan yang tak sadarkan diri.

“Saya suka anak ini,” ujar orang itu dengan tatapan menakutkan. “Saya bayar lunas untuknya,” sambungnya.

Vanya membulatkan matanya. “Vanya nggak mau ikut sama, Om!”

Vanya berlari sekuat tenaga, namun tangannya ditarik paksa kembali oleh ayahnya sendiri.

“Lepasin! Vanya nggak mau kayak gini, Pah! Papah jahat!” Ia memberontak dan menggigit tangan lelaki itu. Saat Vanya berlari—sayangnya ia terpeleset dan akhirnya jatuh. Timbul luka pada tangan kanannya sebab tergores pecahan keramik.

Lantas datang sebuah petir yang beriringan dengan hadirnya sosok malaikat. Alih-alih malaikat itu membangkitkan tubuhnya. Betapa dinginnya tangan itu kala menyentuh permukaan kulitnya. Betapa orang itu sangat berhati-hati dalam menyentuhnya.

“Apa yang kalian perbuat pada anak lugu seperti dia?”

“Apa kau menjual anakmu sendiri?” pekiknya dengan suara tegas. “Dan, kau, berapa kau membayarnya?”

Pertanyaan itu tertuju pada pria yang memegang secangkir alkohol ditangannya.

“20 juta, saya membelinya,” jawab pria itu.

“Lantas apa yang kau lakukan terhadap anak ini nantinya? Memperkerjakannya?”

“Dan, kau! Ayah yang tidak tahu malu! Apa yang kau inginkan? Hanya uang?” sambungnya.

Chandra, ayah dari Vanya Astra Asia hanya dapat mematung dan membisu.

“Ini untukmu, jangan pernah kau melukai anak ini lagi!”

Seorang lelaki bak malaikat itu memberikan tumpukan uang pada kedua pria itu. Ia menggendong anak malang itu dan keluar dari jerat rumah yang gulita.

“Petir ke delapan. Laki-laki baik ini telah membawaku pergi dari peristiwa jahat.” Vanya termenung dalam dekapan hangat lelaki itu. Rasa sakitnya kian menghilang. Dari peristiwa inilah awal mula Vanya memercayai keindahan petir. Orang baik ini datang saat petir hitungan ke delapan menghantam bumi.

Sampai pada rumah yang damai, lelaki itu membalut luka Vanya dengan hati-hati. Terlihat betapa khawatirnya orang ini padanya yang bahkan dia mengkhawatirkan seseorang yang tak pernah dianggap ada sebelumnya. Vanya menatapnya lekat hingga membuka suaranya.

“Mengapa menolongku?”

“Bukankah kamu perlu bantuanku?” ujar lelaki itu dengan suara yang lembut. “Mulai sekarang kamu bisa tinggal di rumah ini. Siapa namamu?”

“Vanya,” ujarnya singkat dengan sedikit keraguan.

“Lengkapnya?”

“Vanya Astra Asia,” jawabnya yang mulai yakin.

“Kukira namamu Gadis Petir,” sahut orang lain yang ikut dalam perbincangan mereka.

Suara itu tidak asing di pendengaran Vanya. Namun Vanya juga merasa bahwa ia hanya mendengar kilas perihal suara itu. Tak lama dan tak terlalu mengenal.

Vanya mengerutkan dahinya. “Jadi kamu...”

“Selamat datang di rumahku.”

Senyuman Vanya terbit setelah usainya sakit yang ia alami. Kini ia mendapatkan seorang teman yang tak sengaja ia jumpai. Seorang teman yang menyambut kehadirannya dengan baik dan mempersilakan baginya untuk berbagi rumah padanya.

“Jika ini rumahmu berarti orang baik ini ayahmu?"

Hanya anggukan kecil yang dia berikan untuk menjawab pertanyaan itu. Vanya berargumen bahwasanya kedua lelaki ini sangat mirip. Keduanya sama-sama memberikan suasana tenang di hatinya yang berisik.

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang