Chapter 10. Catatan Devano

8 7 0
                                    

Saat aku berhasil mendapatkan hatimu nantinya, aku akan menceritakan kebahagiaan yang tiada habisnya pada semesta.

"Kayaknya dia bakal suka."

Pria itu tengah berlalu-lalang memilih sebuah boneka. Di genggamannya sudah terdapat boneka dinosaurus. Ia tersenyum kala membayangkan betapa bahagianya gadis itu jika ia membelikannya boneka ini.

Ia meraba sakunya dan mengeluarkan sebuah catatan kecil yang di dalamnya terdapat hal yang disukai dan tak disukai oleh seseorang.

"Undang-undang yang kedua, Ghina suka kejutan yang mengejutkan," gumam Devano membaca catatan itu.

Ghina, pacar Devano yang merupakan siswi berprestasi di SMANSA. Ia begitu menyayangi perempuannya. Senior itu tengah memikirkan sebuah kejutan besar untuk ulang tahun Ghina.

Sepasang kekasih itu memulai kisah cintanya sejak berada di bangku SMP. Ghina yang terkenal lugu dan pendiam mampu memikat hati Devano yang berpenampilan bak preman. Kisah awalnya, Ghina sempat takut dengan Devano, namun seiring berjalannya waktu Ghina mampu diluluhkan oleh seorang Devano yang pernah ia sumpahi untuk tidak pernah mencintainya.

Hubungan yang berlangsung tak sebentar itu membuat orang-orang disekitarnya kagum pada mereka. Saling menjaga hati bukanlah perbuatan yang mudah. Terlebih lagi bila orang baru datang di salah satu kehidupan mereka.

Tak lama setelah membuka catatannya, tiba-tiba saja ponsel pria itu berdering dengan nada dering yang khusus. Nada itu berbunyi sangat indah jika dibandingkan dengan nada panggilan lain. Lebih tepatnya itu adalah nada panggilan dari Ghina.

"Ada apa, manusia lucu?"

"Malam ini aku ada acara pelajar SMA di Jogja," terdengar suara Ghina yang lemas.

Devano tersenyum paksa mendengar ucapan itu. "Jadi kita harus jauhan, ya?" ucapnya.

"Raga kita jauh tapi hati kita satu. Maafin aku, ya?"

"Dimaafin nggak, ya? Nanti kalau aku rindu, aku bisa apa?"

"Vano," panggil Ghina yang suaranya terdengar jauh. "Kamu bilang mau kasih aku hadiah yang besar di hari ulang tahunku, aku harap hadiah itu adalah kamu selalu sama aku,"

Devano tersenyum kala mendengar ungkapan itu. Jawaban apa yang harus ia berikan selain anggukan? Mungkin jarak akan memisahkan mereka untuk sementara waktu, namun hati mereka tetaplah satu.

Jarak ini pula bukan sebagai pelampiasan untuk rindu, tetapi juga untuk menguji seberapa mungkinkah bila hari-hari ini terlewat tanpa dirimu.

"Lo bisa minggir nggak? Dari tadi lo matung di situ ngehalangin orang lain milih barang!"

Tiba-tiba saja pria itu dikejutkan oleh suara yang cukup bernada tinggi. Ia kenal betul suara siapa itu. Dan bertemu dengannya di sini adalah sebuah kutukan besar baginya.

"Kenapa lo selalu hadir ke mana pun gue pergi?" timpal Devano.

"Ini bukan tempat milik bokap lo! Ini tempat umum yang di mana semua orang bisa masuk di sini!" jawab lelaki dengan rambut yang berantakan.

Devano menghela napasnya panjang. "Susah kalau ketemu orang gila," timpal Devano.

"Lo atau gue yang gila? Gue gila juga nggak minta beras di rumah lo!"

Lelaki dengan rambut berantakan itu pergi menatap tajam bola mata Devano. Perdebatan rumit ini tak kunjung selesai. Seperti halnya musuh bebuyutan. Pertengkaran ini tak akan terputus bila mereka sama-sama menekankan ego masing-masing.

Baskara menghembuskan napasnya kasar. Ia menatap langit yang semakin larut. Perasaan yang tak karuan tercampur aduk dalam satu sanubari.

"Nggak sama lo satu hari aja berat banget, apalagi kalau lo pergi, Van," ungkap Baskara sembari duduk di motor yang terparkir rapi.

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang