Chapter 20. Tulus

8 7 0
                                    

Untuk menjaga sebuah hubungan, sesamanya harus saling mengerti, bukan? Turunkan egomu sekali saja untuk mendengar apa keluh kesahnya terhadap hari yang sedang dihadapinya.

Dari kalbu yang paling dalam, tersimpan perasaan yang lembut sepeti kapas. Rasa itu tak ingin dibalas dengan apa pun, rasa itu juga terus mengalir dalam setiap nadi. Rasanya seperti dipeluk ribuan awan ketika perasaan itu hadir dalam hidup.

Seperti halnya dengan gadis itu, ia bagai dipeluk oleh awan yang begitu lembut. Begitu erat dekapan itu hingga memberi obat pada luka sayatan di hatinya. Ia kembali mendapatkan sebuah kecupan dari orang yang paling dia sayangi. Setelah badai menerjang padanya di hari itu, ia belajar bahwa mendapatkan angin yang damai itu sangat sulit. Angin yang membawa kesejukan di hatinya.

"Tak ada kata maupun kalimat yang bisa aku ucapkan untuk orang-orang baik di sekitarku. Bunda-rasa sayangku untukmu tak akan dapat diukur, dan untuk Ayah-rasa sayangku untukmu seperti pesawat lepas landas di langit angkasa, yaitu tak terkira."

Vanya menarik sudut bibirnya saat berada dalam pelukan Bunda. Entah sampai kapan pelukan itu akan terlepas, yang pasti Vanya merasa sangat merindukan kedua orang baik ini. Sehari saja tidak bertemu rasanya akan mustahil.

"Dengarkan sekali lagi, Vanya... jangan pernah menganggap Ayah dan Bunda adalah orang lain. Karena kamu adalah anak Bunda, anak perempuan dari rumah ini."

Siapa yang tak terharu mendengar kalimat yang begitu indah dalam susunannya. Ucapan itu terdengar hingga ke bagian hati yang paling ujung. Tentu saja sebuah tangisan yang gadis itu keluarkan. Ia tak pernah memiliki rumah untuk berkeluh-kesah. Tetapi di rumah ini, memberikan sejuta rasa untuk tempatnya bercerita. Menjadi pendengar kala ia berkata, dan menjadi pembicara kala ia butuh dorongan.

"Peluk Bunda mulu, gue kapan?"

Sejak peristiwa buruk terjadi kemarin, Baskara tak lagi mendiamkan gadis itu. Meskipun sejujurnya ia tidak marah terhadap Vanya.

"Merusak suasana banget sih lo!"

Baskara tersenyum miring. "Ya udah ayo berangkat. Lo mau kita telat?" sambungnya.

Vanya termenung sejenak. Ia memutuskan untuk tidak berjalan berdua bersama Baskara. Karena dia mengingat bahwa sahabatnya telah mencintai lelaki itu. Tinggal di rumah ini saja lebih dari cukup untuknya.

"Siapa yang mau bareng sama lo? Gue mau Ayah yang nganterin hari ini," jawab Vanya sembari mendekat dan memeluk Ayah.

"Lo yakin nggak mau dibonceng sama orang cakep?"

Baskara mendekat ke arah Vanya dan berbicara yang hanya berjarak satu jengkal. Jantung Vanya langsung berdegup kencang lalu bertingkah kikuk. Baskara mengelabuinya dengan mengambil sepotong roti yang ada di belakang gadis itu.

"Kok lo jadi ngikutin Aldo? Sok ganteng!"

"Beda lah! Lebih ganteng gue daripada dia."

Baskara menampakkan senyum tengilnya. Perdebatan itu kembali muncul pada pagi ini. Suasana rumah sudah seperti pada hari-hari yang semestinya. Rumah yang selalu ada tawa di dalamnya.

Lelaki berseragam rapi itu mengambil sebuah kapas di kotak P3K. Ia juga mengambil air dingin lalu duduk di sebuah kursi kecil tepat di hadapan Vanya. Ia menyingkirkan helaian rambut yang menutupi luka itu. Kemudian ia mengusap luka memar Vanya dengan perlahan.

"Ya udah kalau mau bareng Ayah, tapi pulangnya sama gue ya?"

Gadis itu membisu melihat sikap Baskara yang begitu peduli padanya. Pria itu membalut lukanya dengan hati-hati. Luka ini berasal dari seorang laki-laki dan luka ini juga di obati oleh seorang lelaki, tetapi yang membuatnya berbeda adalah lelaki ini bukan hanya memberikan obat melainkan juga merawat.

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang