Chapter 7. Pulang

11 7 0
                                    

Sekali saja aku ingin pulang lalu dihidangkan sebuah pelukan, nyatanya mustahil bagiku karena hancurnya keluargaku.

"Mau apalagi lo datang di hidup gue!" Timpal gadis itu dengan suara yang tinggi.

"Kenapa, sih lo selalu natap gue dengan tatapan itu?"

Kembali terulang. Devano dan Vanya terus saja bertemu di setiap langkah yang mereka ambil. Akan tetapi, kali ini bukan sebuah kebetulan tetapi sebuah kesengajaan yang Devano ambil.

"Karena gue nggak suka ketemu sama, lo!"

Terdengar pedas namun itulah kenyataannya. Vanya begitu tidak suka jika harus berhadapan dengan senior gila ini. Ia juga bertanya-tanya kepada dirinya sendiri mengapa ia harus bertemu dengan orang yang sama sekali tidak mengerti arti minta maaf.

"Lo boleh nggak suka sama gue, tapi sesuatu yang lo suka itu ada sama gue."

Vanya memutar bola matanya malas. "Nggak jelas lo, minggir!"

"Punya lo, kan?"

Senior itu menunjukkan apa yang berada di tangannya. Ia memberikan sebuah lukisan bergambar petir yang Vanya buat kemarin. Puas dia mencari lukisan itu hingga memutar balik rute perjalanannya untuk kembali ke pameran seni itu, ternyata senior inilah yang telah membawanya.

"Kenapa ada sama, lo?"

"Bilang makasih dulu nggak, sih?"

Sindir Devano sembari mendongakkan kepalanya, kemudian ia pergi tanpa menoleh ke belakang.

Sempat mematung beberapa saat, Vanya terus berpikir bahwa mengapa harus senior sombong itu yang membawakannya. Jika seperti ini maka yang pasti dia berhutang budi pada Devano.

Singkat cerita lukisan itu terjatuh dari tas Vanya yang tidak tertutup. Vanya menyadari bahwa lukisan itu telah hilang pada saat ia akan mengabadikan gambarnya bersama Laura. Ia pun kebingungan dan menyayangkan bila lukisan itu sampai hilang. Sungguh kebetulan yang sial.

Baskara, lelaki itu melihat pertemuan antara Devano dan Vanya. Ia menghampiri senior itu dengan berhadapan dengannya langsung. Dari mata ke mata, keduanya juga saling mematap sengit.

"Gue nggak berbuat jahat sama cewek lo," celetuk Devano secara tiba-tiba.

"Bagus. Jangan pernah lo bikin dia nangis! Lo tahu Baskara, kan?"

Baskara menaruh amarah kepada Devano, sebab ia telah mengungkit masa lalu Vanya yang sepatutnya tidak perlu untuk diulas. Tidak pantas, semua tidak pantas untuk diulas, itulah ungkapan hati Baskara saat ini.

Malam ini, lelaki itu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ia meneriakkan nama gadis petir itu. Seluruh penjuru ruangan telah ia telusuri, namun tak keberadaan gadis itu masih belum ditemukan olehnya.

"Di mana, sih," gumam Baskara sembari sibuk dengan ponselnya.

Tidak ada kabar, tidak ada satu pun pesan. Kekhawatiran semakin menjadi kala hujan deras menimpa tanah. Malam semakin larut, gadis itu bahkan tak mengetuk pintu rumah untuk pulang.

Baskara menghubungi seseorang dalam ponselnya.

"Vanya di mana?" celetuk Baskara dengan nada tinggi.

"Lo kenapa tanya soal Vanya sama gue?"

Lelaki itu menghubungi Devano. Ia khawatir jika Devano berbuat sesuatu pada Vanya. Saat pulang sekolah pun Baskara tidak bersama Vanya, karena gadis itu sibuk dengan pekerjaan sekolahnya.

"Soalnya, lo adalah orang terakhir yang gue lihat bareng Vanya," tekan Baskara.

"Nggak. Dia nggak ada sama gue dan gue juga nggak peduli," timpal Devano seraya memutus panggilan itu.

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang