Chapter 2. Kapsul dan Pil

27 9 0
                                    

Selalu menanti kabarmu, untukku yang selalu merindu.

Rumah yang tenang dan tidak gaduh adalah impian semua orang. Memiliki orang tua dengan segala perannya, kasih sayang yang tiada tara dan juga keluarga cemara. Vanya telah memilikinya namun tidak sepenuhnya. Tetapi saat seorang pilot membawanya pergi semua kebahagiaannya terbit karena pilot itu akan membawanya terbang bebas untuk mencari jati dirinya.

Seorang remaja dengan rambutnya yang dikepang dua tengah menuruni tangga dengan langkah kaki yang malas. Embusan napas yang begitu kasar keluar dari hidungnya. Ia melihat seorang wanita paruh baya yang juga belum tidur di tengah malam yang dingin.

"Baskara di mana, Bun?" Vanya menarik kursi meja makan dan menatap gelas yang kosong.

"Baru keluar, Bunda suruh dia beliin kamu obat," jawab Bunda.

Obat? Vanya tidak membutuhkan obat untuk kali ini, ia hanya ingin mendengar suara Baskara sebelum ia tidur. Vanya mendekap boneka beruangnya dan termenung. Sesekali dia merasakan sakit kepala yang tiba-tiba menghantamnya bagaikan petir.

Bunda menyajikan segelas teh hangat di hadapannya. "Coba Bunda cek dulu suhunya." Ia meraba kening Vanya dengan lembut. Terdapat kasih sayang dalam setiap sentuhannya yang selalu membuat Vanya tersenyum kecil.

"Jangan main hujan lagi," pinta wanita paruh baya itu.

"Baskara beliin Vanya obat tengah malam begini?"

Gadis itu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Ia hanya ingin membahas mengenai Baskara bukan yang lainnya. Apalagi pasal kesalahannya yang selalu bermain hujan dan tidak mendengarkan perkataan Baskara. Sempat dan berulang kali Baskara mengingatkan bahwa bermain hujan akan membuatnya jatuh sakit. Tetapi apa yang selalu dijawab oleh gadis itu? Ia selalu menjawab bahwa dia mencintai bumi dan langit beserta seluruh badainya. Jawaban yang aneh bukan?

"Nggak usah dipikirin, Vanya lanjut tidur aja."

Sungguh terdengar ringan ucapan perempuan paruh baya itu. Berat hati bagi Vanya membiarkan Baskara pergi sendirian di malam yang teramat gulita. Apalagi bila ia melanjutkan tidur pulasnya.

Saat ia merebahkan kepalanya di atas meja, belaian halus meraba rambutnya. Sentuhan inilah yang membuatnya merasakan rindu yang dalam. Aroma yang khas dari orang itu membuatnya tergugah dan merasa lega.

"Kenapa belum tidur? Pasti nungguin gue, kan?"

Baskara, ia masih bersama tawa kudanya di tengah malam yang seharusnya semua orang tertidur. Tetapi apalagi yang akan ia lakukan selain mengganggu dan membuat lelucon untuk Vanya.

"Kepedean banget, lo," ucap Vanya mengendus kesal.

Baskara mencubit hidung Vanya hingga merah. "Kalau lo nggak nungguin gue, kenapa lo di sini? Bengong lagi." Baskara duduk di sebelah Vanya dan menopang kepalanya dengan lengan, lalu ia menatap lekat mata indah itu.

"Nggak, gue nggak nungguin lo, gue nungguin Ayah pulang," jawabnya dengan kikuk.

"Itu Ayah pulang," sambungnya setelah melihat seorang pria dengan seragam pilotnya yang masih rapi.

Pria itu menghampiri keduanya seraya bertanya-tanya mengapa di tengah malam buta ini mereka belum juga tidur. Terlebih lagi saat ia menyadari banyak sekali pil dan kapsul yang terhidang di hadapan Vanya.

Seorang remaja yang seolah-olah menjadi anak kecil tengah mengadu pada ayahnya. "Baskara gangguin Vanya tidur," kesalnya.

"Lama-lama jelek nama gue di depan Ayah."

"Bukan namanya aja yang jelek, muka lo juga jelek." Vanya menjulurkan lidahnya mengejek Baskara.

Mendengar kegaduhan ini pria berseragam pilot itu memisah keduanya. "Sudah-sudah jangan bertengkar," ia menghampiri Vanya. "Kata Bunda Vanya deman karena kehujanan, sudah minum obat belum?"

"Iya ini baru mau minum obat," jawabnya.

"Segera ya, biar panasnya turun," ujar Ayah sembari membelai hangat rambut Vanya.

Meminum obat adalah tantangan yang tak mudah bagi Vanya. Perihal susah untuk ditelan dan juga bentuk obat yang dibelikan oleh Baskara berbentuk kapsul dan pil. Beruntungnya masih ada Baskara yang selalu siap untuk menghancurkan obat itu hingga halus dan mudah untuk ditelan.

"Lain kali kalau dibilangin jangan keras kepala, nggak bisa minum obat berarti nggak usah sakit," nasihat Baskara setelah memberikan suapan obat pada Vanya.

"Iya-iya, cerewet banget lo jadi manusia," Vanya menundukkan pandangannya. "Lagi pula gue kan suka hujan," gumamnya menggerutu.

"Iya-iya Gadis Petir," ungkap Baskara menatap lekat mata gadis itu.

"Sekarang lo istirahat, tidur yang nyenyak dan jangan lupa,"

"Mimpiin lo!" Vanya memotong perkataan Baskara dengan nada yang cukup tinggi.

Sungguh, Vanya merasa kesal dengan setiap ucapan Baskara untuknya saat akan tidur. Baskara selalu meminta padanya untuk selalu memimpikannya di setiap malam.

"Nggak, jangan lupa berdoa." Baskara tertawa melihat tingkah aneh Vanya. Pasti gadis itu merasa malu dengan apa yang telah ia ucapkan.

Vanya beranjak pergi dari meja makan. "Sok asik, lo." Ia menaiki tangga dengan kaki yang dientakkan dengan keras.

"Semangat banget mau mimpiin gue," ucap Baskara masih dengan tawanya.

"Selamat malam, Van," sambungnya.

Malam ini saatnya bagi Baskara melanjutkan ceritanya. Ia meraih sebuah kuas dan menatap bintang yang gemerlap di langit angkasa.

Pemikirannya dipenuhi dengan tanya, mengapa gadis itu sangat menyukai langit? Hari-hari yang telah ia lewati bersamanya selalu mengikat langit dan tentangnya. Semuanya tertuang saat ia mulai menggoreskan warna dalam sebuah kanvas. Ia membuat campuran warna itu hingga menyerupai karya Sang Pencipta.

Lukisan itu begitu realis dan sempurna. Satu hal yang membuat lukisan ini tampak seperti nyata adalah; dia melukis menyertakan perasaannya.

"Untukmu langit, aku ingin berkata padamu bahwasanya ada seorang penghuni bumi yang sangat menyukaimu. Tapi orang ini berbeda. Kebanyakan orang pasti menyukai bulanmu, menyukai bintangmu dan menyukai senjamu, tapi tidak untuknya. Ia lebih menyukai petirmu dan semua gemuruhnya."

"Untukmu petir, berikanlah kebahagiaan untuknya sebagaimana dia bahagia melihat kehadiranmu. Jangan kau berikan petir masalah untuknya. Sejak lama aku telah menemaninya-tetapi sepanjang dia bahagia itu karena kehadiranmu. Aku berkata padamu bukan sebagai seorang seniman melainkan sebagai Baskara yang akan terus menjaga senyumannya."

Baskara-seniman muda yang selalu berkata dalam setiap lukisannya. Ia selalu menyertakan perasaannya dalam setiap kanvas. Ia bisa mengucapkan ribuan kata yang lebih indah dari malam ini

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang