Chapter 22. Bukan Rumah Melainkan Bumi

8 7 0
                                    

Rumah, rumah, dan rumah... diamlah aku sama sekali tidak memilikinya!

Di pekarangan rumah yang luas, terdengar begitu jelas suara canda dan tawa seorang gadis yang begitu bahagia. Ia bermain dengan; Abu-seekor anak kucing yang baru saja ia temukan di selokan. Gadis itu berlarian hingga terjatuh. Namun, jatuhnya tak membuat ia terluka.

"Di sini ternyata."

Lelaki itu menatap gadis itu dengan penuh makna. Di tengah pintu belakang, ia diam-diam memerhatikannya. Betapa bahagianya gadis itu dengan hal kecil. Jika hal kecil saja dapat membuatnya bahagia mengapa harus hal besar yang ia berikan.

"Van..." panggil lelaki itu dengan suara beratnya.

Gadis itu merasa terpanggil dan akhirnya beristirahat di sebuah ayunan. Baskara mengerutkan keningnya setelah mendapati bibir Vanya yang terlihat pucat.

"Lo belum sarapan?"

Gadis itu menggeleng perlahan.

"Jangan pernah tinggalin sarapan, Van. Tadi waktu gue nganterin Ayah, Bunda bilang lo nggak mau makan. Kenapa?"

Gadis itu mengerutkan bibirnya. "Karena gue maunya disuapin Ayah..."

Baskara menggeleng terheran. "Berarti kalau gue suapin mau nggak?" ucapnya sembari menunduk dan pandangannya setara dengan lutut Vanya.

"Maunya Ayah... kenapa Ayah kerjanya harus jauh? Mana terbang lagi,"

"Malah bahas itu," Baskara menyingkirkan helai rambut yang diterpa angin. "Ya udah kalau gitu lukanya diobatin dulu habis itu makan."

Begitu peduli. Baskara lebih peduli dengan kondisi Vanya dibandingkan dengan dirinya sendiri.

"Bas,"

"Ada apa Asia?

Lagi-lagi nama itu yang Baskara sebut. Andai saja lelaki itu tahu bahwa Vanya tidak dapat menutupi pipi merahnya jika dia memanggilnya dengan sebutan itu. Ternyata Baskara juga bisa menampilkan drama seperti yang Aldo lakukan. Tentu saja wajah gadis itu langsung memerah.

"Lo tahu ucapan Kakek dari mana?"

"Ucapan yang mana?"

"Yang lo ucapin semalam, tentang pemilik senyum yang menakjubkan."

"Emangnya itu ucapan Kakek?"

"Iya sama persis. Makanya gue kaget waktu lo ngomong kayak gitu sama gue."

Baskara terdiam sejenak dan meletakkan jemarinya di dagu. "Tapi fakta kok. Senyuman lo emang menakjubkan."

Vanya menampar pelan pipi Baskara. "Apaan sih lo!" gumamnya menyembunyikan raut wajahnya yang merah.

Baskara tersenyum melihat Vanya yang selalu kesal dengan perbuatannya.

"Udah selesai." Pria itu membelai perlahan kepalanya. "Besok udah sembuh total lukanya," sambungnya.

"Kenapa lo ngelakuin ini semua? Gue bisa sendiri, Baskara..."

"Bisa sendiri apanya? Yang ada luka itu tambah parah kalau lo yang ngerawat!" Baskara pergi meninggalkan gadis itu seraya membawa kotak P3K.

"Kenapa lo sesayang ini sama hidup gue?"

Vanya terus bergeming dalam batinnya. Ia tidak terima jika orang lain lebih memedulikannya dibanding dirinya sendiri. Karena Vanya sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya sebab ia benci dengan dirinya sendiri.

"Ini makan dulu."

Tak lama setelahnya, Baskara kembali dengan membawakannya makanan untuk mengisi perut kosong gadis itu.

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang