Chapter 8. Rumit

8 7 0
                                    

Yang paling aku sukai dari hujan adalah pada saat airnya turun bersamaan dengan air mata.

Setelah badai menerpa kemarin, hari ini mendung menyapa pagi milik Vanya. Langit yang kelabu dan embun pagi yang sejuk membuatnya sedikit tenang. Namun, ketenangan itu hanya datang sekejap hingga ia bertemu dengan orang yang seharusnya tak lagi ia jumpai.

"Lo ngapain di rumah gue?" bentak Vanya yang sedikit kaget akan keberadaan orang itu.

Lelaki itu lebih terkejut lagi melihat Vanya yang berdiri di hadapannya. "Ini jalanan umum, bukan jalanan nenek moyang, lo!" ucapnya.

"Lo pikir gue buta? Lo pikir gue nggak bisa bedain mana jalanan dan mana halaman rumah gue?"

"Mikir aja lo, kalau gue benerin motor di jalanan yang ada gue kecelakaan," bantahnya.

"Bodo amat! Mau lo kecelakaan atau apa pun gue juga nggak peduli, sekarang lo pergi dari rumah gue!"

"Lo ngusir gue?"

"Kurang jelas?"

Dengan keterpaksaan, lelaki itu menuruti apa yang dikatakan oleh Vanya. Ia mendorong motornya perlahan dan menyingkir dari halaman rumah Vanya. Akan tetapi, Vanya yang melihat hal itu merasa tidak tega. Atas rasa kemanusiaan yang ia miliki, ia pun menghentikan langkah Devano.

"Kasihan juga gue sama, lo." Vanya tersenyum miring. "Lo perbaiki aja di sini, dari pada nanti gue di gosipin sama anak-anak SMANSA, kalau gue udah ngusir lo."

Devano mulai merakit satu-persatu mesin motornya yang rusak. Sementara itu, Vanya bersandar di pagar rumahnya seraya memainkan ponselnya. Sempat menoleh ke arah kanan dan kiri, menunggu seseorang hadir untuk menjemputnya, namun tak ada seorang pun yang datang.

"Lo nungguin siapa?" ucap Devano setelah selesai dengan perkakasnya.

"Penting buat, lo?" jawab Vanya sinis.

"Lo nggak bosen judes mulu?"

"Nggak. Yang ada gue bosen lihat muka lo!"

"Gue juga bosen lihat muka lo!" Ia menyalakan mesin motornya.

"Makasih," akhir katanya seraya meninggalkan Vanya sendirian.

Vanya cukup kesal pagi ini. Ia berharap bahwa semoga saja motornya kembali mogok agar dia terlambat ke sekolah. Akan tetapi, ada satu perkataan Devano yang membuat dirinya tercengang. Sebuah kata yang indah di tengah semua ucapan buruknya, yaitu kata terima kasih.

Cukup membuatnya tercengang sejenak karena memang selama ini senior itu tak pernah berucap terima kasih.

Setelah kepergian Devano, akhirnya muncul seseorang yang telah lama ia tunggu. Laura, gadis itu benar-benar sangat lambat bahkan lebih dari setengah jam.

Masih mengendarai motor Hello Kity miliknya, ia tersenyum kuda melihat Vanya dari kaca spion.

"Lo cantik kalau lagi marah, Vanya," bujuknya.

"Jangan ngeledekin gue, Laura," jawab Vanya kesal.

"Serius. Lo cantik kalau lagi marah, tapi kurangin itu ya, Van? Lo lebih cantik kalau senyum," ungkap Laura.

Vanya tak tahan untuk menampakkan pipi merahnya. Akhir-akhir ini ia sering sekali dibuat bahagia akan kehadiran Laura. Ia terhibur dan mungkin sedikit melupakan masalahnya.

"Vanya," panggil Laura seraya melihat wajah Vanya di kaca spion. "Rumah lo ada berapa?"

Vanya mengerutkan dahinya. "Maksudnya?"

"Gue kan waktu itu jemput lo di rumah yang satunya, bukan yang tadi," tanya Laura.

"Kalau lo punya rumah banyak kenapa nggak pakai mobil atau pesawat aja? Kan bisa sekalian gue nebeng." Laura tertawa kuda.

Vanya sedikit tersenyum. Dalam batinnya selalu berucap bahwa satu rumah saja dia tidak punya, apalagi lebih? Vanya belum menceritakan perihal dirinya kepada Laura. Laura tak mengenal siapa itu Baskara dan Laura juga tak mengenal begitu dalam tentang Vanya. Biarkan permainan waktu yang akan mengungkapnya.

Baskara, lelaki itu tengah sibuk memesan makanannya. Namun, di hari yang masih pagi ini ia terkena sebuah musibah yang cukup memalukan. Apalagi selain dompetnya yang tertinggal. Meninggalkan dompet di jok motor adalah kebiasaannya dan menaruh uang di casing ponsel adalah hobinya. Begitu bodohnya lagi adalah uang di casing ponselnya tidak cukup untuk membayar makanan yang ia pesan. Ia mengetuk dahinya dengan kuat dan akan membatalkan pesanannya. Jarak antara kantin dan parkiran sekolah teramat jauh dan untuk mengambilnya Baskara tidak memiliki kekuatan lagi untuk berjalan. Ia lebih memilih untuk kelaparan dibanding berhutang, karena baginya berhutang sama saja dengan merusak namanya di SMANSA.

"Jangan dibatalin, Bu. Biar saja aja yang bayar."

Gadis itu mengamati gerak-gerik Baskara sedari tadi. Ia membayar pesanan Baskara dengan sejumlah uang yang dimilikinya.

"Ini buat, lo," ucap gadis itu seraya memberikan sepiring nasi goreng yang masih hangat.

"Nggak usah, gue nanti aja," ujar Baskara menolak perlahan piring yang ada di tangan gadis itu.

"Nggak papa, pasti lo belum sarapan. Ambil aja," paksanya.

"Ya udah, makasih. Nanti gue ganti,"

Gadis itu tersenyum manis menampakkan lesung pipinya. "Iya, santai aja," sambungnya.

Kepergian gadis itu membuat Baskara mematung beberapa saat. Lalu ia duduk dan mengamati sepiring nasi goreng yang ada di hadapannya.

"Sumpah! Ini gue beneran hutang?"

Seorang Baskara mungkin setelah ini nama baiknya akan ternodai. Seorang lelaki yang memiliki nama besar di SMANSA. Dikenal sebagai orang yang humoris namun dia tetap keren di setiap penampilannya. Meskipun seperti itu, ia tetap menyantap nasi gorengnya dengan lahap karena memang dalam kondisi lapar.

Mungkin susah baginya untuk mengembalikan sejumlah uang yang ia pinjam pada gadis itu. Sebab papan namanya kala itu tertutup oleh jaketnya. Satu hal yang Baskara ingat perihal gadis itu adalah lesung pipinya. Gadis itu memiliki satu lesung pipi yang ikut tersenyum kala bibirnya menampakkan senyumannya.

Hari ini adalah hari yang amat sepi bagi Baskara. Seharian ini dia belum berjumpa dengan gadis petir itu. Tiada kabar dan tiada pesan yang tertinggal. Pagi yang senantiasa ramai dengan ocehan gadis itu juga mendadak hilang. Jok motor Baskara juga kosong, biasanya gadis itulah yang mengisi tempat duduk itu baik pagi maupun sore hari. Jika ingin juga setiap hari yang mengisi bangku di motornya adalah Vanya.

Baskara menghela napasnya panjang. Ia membuang semua pikiran buruk tentang Vanya. Sanubarinya menyimpan sebuah rasa, yang di mana rasa itu menjadi pemotong untuk kegelisahannya.

"Vanya punya kehidupan sendiri, Bas," monolog Baskara sembari menatap kepergian Vanya yang tengah bersama Devano.

Senior itu berdiri tepat di sebelah Vanya. Mereka berjalan bak tingkatan tangga. Dan yang lebih membuatnya membisu ialah sebuah tawa yang timbul dari gadis itu bukan berasal dari dirinya, melainkan orang lain.

 Dan yang lebih membuatnya membisu ialah sebuah tawa yang timbul dari gadis itu bukan berasal dari dirinya, melainkan orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Lo kenapa natap Vanya segitunya?"

Riko tiba-tiba datang memancing amarah Baskara.

"Urusannya sama lo apa?"

"Gue tau lo sayang sama dia, Bas. Tapi dia juga ingin lepas dari lo dan cari bahagianya sendiri," sahut Gio.

"Jangan pernah lo ngungkit masa lalu gue sama Vanya!" kecam Baskara sembari meninggalkan keduanya.

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang