Chapter 5. Bogor

11 7 0
                                    

Aku teringat kala pertama kali engkau menjabat tanganku wahai temanku. Saat itu aku tidak pernah mengira bahwa kita akan menghabiskan suka duka bersama.

Hari ini, Baskara dan Vanya terlambat berangkat ke sekolah. Semua pasal Baskara yang begadang hingga larut malam dan pada pagi harinya dia sangat susah untuk bangun dari tidurnya. Ia sibuk menemani cat dan kanvasnya hingga melupakan jam tidurnya. Entah apa yang dia lukis hingga membuatnya sangat nyaman untuk menyelesaikan karyanya dengan segera.

Suasana sekolah sudah cukup ramai dan parkiran juga terlihat penuh. Vanya tidak menyukai keramaian ini. Ia berjalan seakan kakinya menghantam bumi dengan kuat. Ia juga berjalan mendahului Baskara dan ingin secepatnya pergi meninggalkan Baskara. Lelaki yang menyadari hal itu langsung menghentikan langkahnya.

"Lo marah sama gue? Maafin, ya."

Sudah menjadi kebiasaan bagi keduanya jika salah satu dari mereka berbuat jahil maka amarah akan timbul dari satu pihak dan yang pasti meminta maaf akan menjadi akhir dari permusuhan itu.

"Lagian juga lo kenapa susah banget bangunnya! Kalau gue nggak siram lo pakai air es mungkin lo akan kebablasan."

Baskara berusaha menatap lekat mata indah itu. "Seharusnya nggak kayak gini," ucap Baskara yang berpendapat pada alis Vanya yang ditekuk.

"Harus berapa kali gue bilang sama lo kalau gue nggak suka lihat mata indah itu penuh amarah," sambungnya.

"Cukup, Bas. Gue nyerah..." Vanya tersenyum miring. "Apa pun yang terjadi gue nggak akan bisa marah sama lo," sambungnya.

Sialnya Baskara selalu membuat Vanya takluk dengan perkataan manisnya. Setiap katanya mengandung sejuta makna yang membuat hati setiap pendengarnya luluh.

Tanpa keduanya sadari, mereka sedari tadi diperhatikan lekat oleh seseorang. Orang itu bergeming dengan kedua temannya. Ia juga masih penasaran siapa Vanya dan betapa bencinya dia dengannya.

"Mereka berdua pacaran?" timpal seorang lelaki dengan seragam yang dikeluarkan.

"Ada yang bilang pacaran, ada juga yang bilang nggak."

Riko Zuhdana, lelaki berambut keriting yang merupakan sahabat Devano menjawab dengan ragu.

"Lo jangan lagi bikin masalah sama mereka, apalagi sama yang cewek."

Gio Irasha, lelaki berotot dan berbadan tinggi. Ia merupakan senior yang berbakat dan ia juga lulusan dari SMP yang sama dengan Vanya.

"Emang kenapa?"

"Lo nggak tahu Vanya?" sahut Riko terheran.

Devano menggelengkan kepalanya perlahan.

"Kalau lo udah buat masalah sama dia, sebelum lo nurutin apa yang dia mau, lo bakal tetap diincar," jawab Riko dengan serius.

"Vanya itu orang baik, kalau sampai dia marah berarti emang orang lain yang nggak tahu cara ngehargain dia," sahut Gio seraya memberikan lirikan tajam ke arah Devano.

Orang baik? Lantas mengapa kemarin dia memperlakukannya seperti itu?

Mungkin itulah yang berada dalam benak Devano sekarang. Ia tak mengerti apa yang gadis petir itu mau.

Alih-alih, gadis petir itu tengah meminum seteguk jus berbuah merah. Tampak segar dan menghilangkan dahaganya di tengah panas terik matahari. Tiba-tiba sebuah bola melambung tinggi akan terjun bebas. Akan tetapi, kali ini bola itu tidak akan mengenai dirinya melainkan terjun bebas ke arah orang lain.

"Devano Alkara, senior kelas IPS yang suka buang bola sembarangan," monolog Vanya sembari mengamati perilaku yang dilakukan Devano

Begitu jauh bola itu tersesat hingga mengenai wajah gadis berambut panjang itu. Ia terjatuh dan pipinya memerah. Sebuah uluran tangan mengarah padanya. Ia tersenyum menampakkan lesung pipinya kemudian meraih tangan Vanya.

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang