Chapter 13. Rumah yang Lapuk

7 7 0
                                    

Bisakah aku bahagia meski hanya sebentar saja? Sudah lama aku terluka tanpa ada yang bisa merawatnya.

"Makasih udah mau nolongin gue," ujar Vanya.

"Sama-sama. Kalau lo butuh sesuatu hubungi gue aja." Devano menyalakan sepeda motornya.

"Iya, makasih sekali lagi,"

Gadis itu menatap kepergian Devano. Bibir pucatnya menampakkan senyuman. "Lo orang baik, Vano," ungkap Vanya.

Gadis petir itu kembali ke rumah berisik setelah semalaman menginap di rumah sakit. Sejenak ia menatap rumah damai di seberangnya. Tak ada Baskara sepertinya. Ia melangkah perlahan memasuki rumahnya lalu mengedarkan pandangannya untuk mengetahui situasi.

"Dari mana saja kamu!"

Situasi kali ini kembali memanas setelah terdengar suara kejam yang mulai menggema. Beberapa hari terakhir ini, Chandra disibukkan dengan permainan judinya hingga tak membuatnya pulang ke rumah. Damai saja jika di lihat oleh sudut pandang Vanya hingga membuatnya berani untuk kembali ke rumah ini.

"JAWAB! KENAPA DIAM? KAMU BISU?"

"Vanya habis dari rumah sakit, Pah," lirih ucapnya.

"Bagus... berapa banyak biaya yang kamu tanggung untuk masalahmu!"

Vanya menghiraukan ayahnya dan pergi menuju kamarnya di lantai atas. Ia melihat ayahnya dalam kondisi yang tidak sehat dan botol minuman keras sedang berada di tangannya. Terancam jika Vanya terus membuat Chandra emosi, lebih baik ia pergi dan menghindari pemabuk itu.

"Baskara ke sini cariin kamu," celetuk Chandra tiba-tiba.

Benarkah? Begitu khawatirkah dia dengannya sampai nekat mencarinya ke rumah ini. Padahal dia sudah tahu risiko apa yang akan ia tanggung jika berani menemui Chandra secara langsung, dan risiko itu adalah nyawa gadis petir itu sendiri.

"Gue nggak tahu apa yang ada di pikiran lo, Bas."

Malam ini gadis itu berdiri menatap jendela kamar sebuah rumah di balik pohon itu. Tak ada cahaya penerangan yang menyala pada jendela itu. Ia menatap rindu sosok yang berada di dalamnya. Tentang sang pilot, Bunda penyayang dan putra semata wayangnya.

Di tengah lamunannya, terdengar suara dering ponsel yang menggema hingga ke telinganya. Terdapat sebuah nomor tak di kenal yang tiba-tiba saja menghubunginya. Ia mencoba untuk mengangkat panggilan itu, siapa tahu orang lain sedang membutuhkannya.

"Halo..."

Tak ada jawaban dari panggilan itu.

Vanya mencoba kembali untuk mengucapkan sepatah kata.

"Ini siapa?"

"Yang pasti orang yang paling tampan seantero SMANSA,"

Dari suaranya saja, Vanya sudah mengetahui siapa orang ini. Dia adalah seorang senior yang menabraknya kemarin.

"Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa sebenarnya," jawabnya.

"Kalau nggak penting gue tutup!"

Devano menghalangi. "Jangan!"

"Ya terus ada apa, Devano?"

"Gue sebenarnya mau nawarin lo buat jalan-jalan cari angin,"

Vanya duduk di bibir ranjangnya seraya berkata; "Nawarin aja?"

"Kalau lo mau gue jemput sekarang,"

Vanya merenung sejenak dan berpikir bahwa bukankah Devano sudah mempunyai pacar? Mengapa dia malah mengajaknya bukannya mengajak Ghina?

"Nggak. Mager gue."

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang