Chapter 4. Orang Baru

13 8 0
                                    

Tak selamanya mengusik ragu adalah bersama orang baru. Bisa jadi keraguan itu terbit kala orang lama telah kehilangan rasa.

"Awas!"

Nasib yang malang. Baru saja sembuh dari sakitnya, kini Vanya ditimpa oleh rasa sakit kembali. Bola voli dengan kecepatan penuh mendarat di kepalanya. Ia menunduk, menunggu orang yang telah memberikan musibah baginya datang di hadapannya.

"Lo nggak papa, kan?"

Saat orang itu mendekat, Vanya dengan sengaja menginjak kakinya dengan kuat. Tentu saja lelaki itu meringis kesakitan.

"Kenapa? Sakit? Sekarang lo tahu kan apa yang gue rasain?"

Vanya menarik kaos lelaki itu. "Lo nggak lihat gue udah jalan di luar area lo main, kenapa lo smash bola ke arah gue?"

Lelaki itu hanya sanggup terdiam. Ia merasa heran, mengapa gadis ini begitu kejam. Orang-orang di sekelilingnya juga ikut terdiam bak ketakutan dengan gadis itu. Jika dilihat lagi, Vanya memiliki mata elang yang memiliki sejuta dendam di dalamnya.

"Lo siapa?" Setelah berlama-lama membisu akhirnya lelaki itu membuka suaranya.

Vanya membuka separuh jaketnya dan memperlihatkan papan nama di seragamnya. "Bisa baca kan?"

Vanya meninggalkan lelaki itu dan mempercepat langkahnya. Gadis yang misterius, mungkin seperti itulah pemikiran Devano menggambarkan Vanya. Ia terus menatap kepergian gadis itu. Ia melihat aura yang berbeda pada Vanya, caranya berbicara, caranya berjalan dan caranya memperlakukan orang itu sangat berbeda. Rasanya Devano ingin sekali untuk membuang pemikiran yang suram terhadap gadis misterius itu.

Baskara mengerutkan keningnya saat mendapati kening Vanya yang memar. Ia pun berhenti menyantap kuah soto yang segar itu.

"Jidat lo kenapa?"

"Ada manusia aneh yang cari ribut sama gue di pagi hari," ucap Vanya dengan murkanya.

"Tapi nggak papa, kan?"

"Nggak papa, cuma pusing aja dikit." Vanya memijat perlahan keningnya.

"Maksud gue bukan lo, tapi orang itu." Raut wajah Baskara terlihat panik.

"Apa yang lo perbuat sama dia, Van?"

"Aman," ucapnya dengan tenang.

Baskara mengembuskan napas lega. "Jangan cari masalah lagi, Van," sambungnya.

"Gue nggak cari masalah, orang-orang aja yang mau ribut sama gue,"

"Ya udah, sekarang mendingan lo makan." Baskara mendekatkan semangkuk soto di hadapan Vanya.

"Jangan sampai lo nggak makan gara-gara orang itu," sambungnya.

"Lo nggak usah cari ribut sama gue!"

Tiba-tiba saja seseorang terdorong dengan cukup kuat ke arah Baskara dan Vanya berada. "Siapa yang cari ribut sama, lo?" Kedua pria tersebut saling beradu mulut, hingga tubuh salah satunya jatuh tepat di meja makan Vanya.

Tentu saja, semangkuk soto yang dipesan Baskara untuk Vanya hilang begitu saja. Bahkan, Vanya belum menyantap satu suap hidangan hangat itu.

"Minggir lo semua!" Baskara membentak kedua pria itu hingga kantin yang tadinya ramai menjadi hening.

"Lo lagi?" ujar Vanya beranjak dari kursinya.

Tiada yang menyangka, pria yang telah membuatnya kesal pagi ini berulah kembali. Kali ini Vanya benar-benar akan menghabisi seorang Devano yang merupakan senior paling atas. Tanpa ba-bi-bu, Vanya langsung menyeretnya dan mencekik leher senior itu.

"Belum puas lo ganggu gue? Kenapa lo selalu muncul hari ini?"

"Asal lo tahu, makanan yang lo tumpahin adalah pemberian orang lain buat gue! Dan seenaknya lo hancurin itu semua?"

Tubuh Vanya yang lebih pendek dari Devano tak membuatnya lengah untuk memberikan peringatan pada senior itu.

"Udah, Van," lerai Baskara pelan.

"Lo diam, Bas! Biar gue didik dia supaya tahu artinya minta maaf!"

Baskara yang melerai juga ikut terdiam. Karena ia belum pernah melihat mata Vanya memerah seperti ini. Memang benar Baskara mengajarkan padanya untuk selalu meminta maaf kepada orang lain, tetapi dengan caranya yang kasar terhadap orang lain juga akan membuatnya melakukan hal yang salah. Tetapi bukankah setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk mengatasi permasalahannya? Setiap orang berhak menentukan caranya bukan?

"Vano!" Suara itu terdengar lirih di tengah kesunyian. "Vanya, gue minta maaf atas kesalahan yang Vano buat."

Ghina Farrasha, perempuan cantik yang merupakan pacar Devano memberanikan diri untuk berbicara langsung dengan Vanya. Bahkan ia meminta maaf kepada Vanya untuk kesalahan pacarnya itu.

"Cowok lo?"

Sebuah anggukan kecil yang dijawab oleh Ghina dan dibalas senyuman miring oleh Vanya.

"Lo nggak malu sama cewek, lo? Orang lain rela minta maaf demi diri lo yang sombong itu," ungkap Vanya dengan perkataan pedasnya.

Wajah Devano yang memerah tak dapat membohongi betapa ia merasa kesakitan. Ia pun akhirnya memberontak dan mengucapkan kata demi kata.

"Jaga ucapan lo! Lo nggak diajari etika sama bokap, lo?"

Sebuah tamparan mendarat mulus tepat di pipi senior itu. Rasa petir menyambar di sekujur tubuhnya kini ia rasakan. Sakit yang berbeda. Bukan hanya misterius tapi gadis itu juga sangat gelap di setiap pandangannya

Vanya mendorong tubuh Devano dengan kuat. "Lo yang nggak punya etika!"

Baskara menambahi rasa petir itu dengan pukulan yang menghantam tulang pipi senior itu.

"Jaga mulut lo!" Dengan sigap Baskara langsung menarik tangan Vanya dan membawanya pergi dari hadapan senior itu.

Tindakan yang dilakukan Baskara membuat Vanya memberontak keras. Semua orang di sekelilingnya memandang serius akan tragedi ini.

"Kenapa lo bawa gue pergi! Lo jangan halangin gue, Bas!"

"Cukup, Van. Dia pasti udah nggak berani buat gangguin lo lagi,"

Keringat panas itu terus mengalir di dahi Vanya. "Mungkin dia nggak akan gangguin gue, tapi dia nggak tahu diri, Bas!"

"Gue udah cukup diam atas perbuatan lo, Van. Tapi kali ini nggak! Lo harus nurut apa kata gue!"

Mulut Vanya yang terbungkam dan pipinya tiba-tiba saja dibasahi air mata membuatnya tertunduk. Baskara menghela napasnya panjang lalu menyentuh kedua bahu Vanya.

"Van," lirih Baskara yang menundukkan bahunya untuk menatap mata gadis itu.

"Gue selalu ingin buat terus natap mata indah ini, tapi tanpa air mata di dalamnya."

"Maaf. Gue nggak pernah nurut sama lo, Bas. Gue juga selalu nyusahin hidup lo," lirih Vanya.

Tak Seindah SaturnusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang