Kathrina terbangun di pagi hari yang cerah. Sinar matahari yang lembut menerobos melalui tirai kamarnya, membuat suasana pagi di hari Minggu terasa berbeda. Ia menghela napas panjang, menikmati ketenangan yang jarang ia rasakan di hari-hari biasanya.
Dengan malas, Kathrina beranjak dari tempat tidurnya yang nyaman. Langkahnya pelan menuju kamar mandi, matanya masih sedikit mengantuk. Ia membuka keran, membasuh wajahnya dengan air dingin yang menyegarkan, seolah-olah membersihkan sisa-sisa mimpi dari malam sebelumnya.
Sambil menggosok gigi, pikirannya melayang ke berbagai hal. Mungkin hari ini ia akan menghabiskan waktu bersama Gita, atau mungkin hanya bersantai di rumah. Namun, satu hal yang pasti, ia ingin menikmati setiap detik dari pagi yang damai ini.
Pagi itu, setelah merapikan diri, Kathrina segera mengecek ponselnya. Biasanya, ada pesan dari Gita yang selalu menyapanya dengan kata-kata manis. Namun, pagi ini terasa berbeda. Tidak ada satu pesan pun dari kekasihnya. Chat semalam saja tidak terbalas.
Ia merasa ada yang aneh. Gita biasanya selalu membalas pesannya, bahkan jika hanya untuk mengucapkan selamat tidur. Kathrina mencoba menenangkan dirinya, mungkin Gita hanya sibuk atau ponselnya mati. Meski begitu, perasaan cemas mulai merayapi pikirannya.
Dengan hati-hati, Kathrina menulis pesan baru, berharap mendapat respons segera. "Pagi, Kak. Kamu baik-baik aja kan? Aku khawatir." Ia menekan tombol kirim, kemudian menatap layar ponselnya dengan penuh harapan.
10 menit kemudian, layar ponselnya masih sunyi. Tidak ada tanda-tanda balasan dari Gita. Dengan rasa kecewa, Kathrina meninggalkan ponselnya di kamar dan pergi menemui ibunya yang sedang menikmati sarapan pagi di ruang makan.
"Tumben adek bangun pagi di hari libur," ucap sang ibu dengan senyum hangat.
"Ih, aku sering kok bangun pagi! Jam 9 itu tetep kehitung pagi." Balas Kathrina dengan cemberut ringan, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekhawatirannya terhadap Gita.
Ibunya tertawa kecil, "Iya deh, iya. Mau sarapan apa hari ini? Mama ada roti panggang sama telur dadar."
Kathrina duduk di meja, mencoba untuk rileks. "Roti panggang aja, Mah. Lagi nggak terlalu laper."
Sambil menyiapkan roti panggang untuk putrinya, ibunya menatap Kathrina dengan penuh perhatian. "Kamu kelihatan agak gelisah, ada masalah apa?"
Kathrina menghela napas panjang, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan ponselnya. "Nggak ada kok, Mah. Mungkin aku cuma butuh waktu buat rileks aja."
Meskipun mencoba menyembunyikan kecemasannya, pikirannya tetap terfokus pada Gita dan ketidakpastian yang dirasakannya pagi itu.
"Pasti karena cowok." Ucap ibunya dengan senyum menggoda.
Kathrina tertegun sejenak. Ibunya tidak tahu bahwa anak gadisnya sebenarnya berhubungan dengan sesama jenis.
"E-eh, enggak lah!," jawab Kathrina, mencoba untuk tidak terlihat gugup.
Ibunya tertawa kecil. "Ah, masa? Biasanya kalau anak muda gelisah begitu, pasti urusan hati."
Kathrina tersenyum kaku, lalu berusaha mengalihkan topik. "Ibu gimana sih, nggak selalu kok. Mungkin aku cuma kurang tidur aja."
Ibunya mengangkat alis, masih tersenyum. "Ya sudah, yang penting kamu sarapan dulu. Jangan lupa kasih kabar kalau ada apa-apa."
Kathrina hanya mengangguk, berusaha menyembunyikan perasaannya yang bercampur aduk. Setelah sarapan, ia kembali ke kamarnya, berharap menemukan balasan dari Gita di ponselnya.
Namun layar ponselnya tetap sunyi, menambah kekhawatirannya.
"Kak Gita kemana sih???" Rengek Kathrina.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Were 18 (Gitkath) [END]
Fanfiction· - "Kak suka cewek ga?" - · • Ini WP pertama akuu, klo agak aneh maklumin yaa. • Cerita ini berhubungan dengan lagu One direction - 18. My fav song! • Untuk awal cerita, hanya masalah sederhana, dan masalah itu bukanlah inti dari cerita ini. Nanti...