(CHAPTER 1) Pandangan Pertama

103 7 38
                                    

Seorang siswa bersandar pada salah satu pilar di sekolahnya. Ia melihat ke arah jam tangannya. Waktu memasuki pukul 10:15 ketika lorong masih dipenuhi oleh lautan siswa dan siswi yang hilir mudik menuju kantin dan kelas atau sekadar meregangkan otot setelah menempuh pelajaran jam pertama.

Siswa tadi kini menyesap air putih dari botol minumnya. Ia nampak gusar menunggu seseorang keluar dari toilet siswa yang tak jauh dari tempatnya bersandar. Air dalam botol itu kembali ditenggak, padahal dahaganya telah terhidrasi.

Akhirnya orang yang ditunggu pun keluar dari toilet. Sebuah kompres es ditempelkan pada salah satu matanya, sementara salah satu lubang hidungnya disumpal sebuah kapas yang bernodakan merah.

"Gilak sih pedes juga nih luka," katanya sambil tertawa. "Thanks yak udah nemenin."

Lelaki itu masih bisa tertawa lepas sekalipun wajahnya dipenuhi luka. Sudah gila memang, batin siswa yang sedari tadi menunggu. Dia adalah sahabat dari lelaki gila itu, namanya Bermuda Raffles.

"Minum?" tawar Bermuda menyodorkan botol minum.

"Thanks," lelaki itu menolak, namanya Safitri.

Safitri? Aneh, itu nama perempuan, bukan? Memang, entah orang tuanya berpikir apa ketika memberinya nama. Namun, nama lengkap lelaki itu adalah Sulaiman Hud Safitri. Kalian bisa melihat melalui pengenal nama di dada.

"Perasaan main tenis gak harus sampai bonyok?" Tanya Bermuda lagi, mereka berjalan menyusuri lorong yang masih ramai.

"Ini bukan tenis, Mud," Safitri menunjuk matanya yang lebam, "tapi salam olahraga yang dibayar tunai kalau ada yang gak terima sama kekalahan."

Bermuda berdecak sebelum menjawab, "Ya terus, harus berantem? Harus salam olahraga? Mana nilai fair play-nya?"

Safitri mengendikkan bahunya.

"Emangnya kamu menang? Enggak, kan?"

"Dih?" sewot Safitri.

"Ya, terus harus berantem? Enggak bisa fair play?"

"Fair play mah udah ilang ditelan samudra, Mud. Tanya aja sama Nyi Roro Kidul kalo enggak percaya."

Sahabatnya hanya bisa menggelengkan kepala mendengar jawaban itu.

Safitri merupakan atlet serbaguna yang ada di sekolah mereka, tidak heran jika ia memiliki banyak fans. Main badminton bisa, jadi wakil tenis di sekolah? Jangan tanya, bahkan lembar lembing pun jago, asal bukan lempar tanggung jawab dan matematika saja.

Demi Allah, Safitri bisa menyentuh KKM saja sudah sujud syukur.

"Siapa yang ngajak ribut duluan?" Langkah Safitri berhenti, ia menghela napas sebelum menjawab.

"Ya mantan sahabatmu itu, Reza, siapa lagi?"

"Oh," nama Reza membuat Bermuda tidak bersemangat. Ada sejarah pahit tercatat antara Reza dengan Bermuda. Ia lanjut berjalan tanpa peduli Safitri yang masih di belakang.

Sebagai catatan, jika peringkat Safitri sebagai atlet sekolah adalah A—Reza ini justru S. Kemampuan lelaki itu di atas Safitri, keduanya kerap bersaing untuk memperebutkan gengsi demi mewakili nama baik sekolah lewat jalur atlet. Entah tenis atau badminton, mereka sangat antusias.

"Lah enggak penasaran alasannya kenapa?" celetuk Safitri, suaranya meninggi.

Safitri buru-buru mengejar langkah sahabatnya. Sementara belasan atau puluhan pasang mata dari kaum hawa, tentu menikmati ketampanan kedua lelaki ini. Safitri atlet, Bermuda? Dia lebih suka menabuh drum dan menekan tuts piano.

lubang di jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang