"Assalamualaikum, Buk, Ibuk, Cipa pulang ada Tatsuki nih, Buk," panggil Syifa sambil melepas helm serta sepatunya, celingak-celinguk untuk mengambil gorengan tempe di atas meja, dan mengoper salah satunya kepada Adrianna—tahu kalau Ibu melihat, ia bisa diomeli karena belum cuci tangan.
"Walaikumsalam, masuk dulu, Tatsuki suruh mampir."
"Enggak usah tante, ini mau pulang, udah kesorean," balas Adrianna setengah berteriak juga.
Sebuah pemandangan biasa yang terjadi di perumahan padat penduduk di sebuah gang yang hanya cukup dilewati dua motor berlawanan arah. Anak-anak berlarian saling menabrak seraya tertawa membawa bola plastik, lagu dangdut Ikke Nurjanah menggema di salah satu rumah dengan keras—judulnya Terlena, kebetulan Syifa kenal sebab sering didengarkan.
Keduanya bercengkerama. Adrianna duduk di atas motor Honda Stylo putih masih mengenakan helmnya, sementara Syifa cekikan di sebelahnya membicarakan kebodohan mereka siang hari tadi, sesekali memainkan spion membuat Adrianna harus menegur dengan menyentil tangan sahabatnya, namun hal itu hanya membuat Syifa tertawa semakin geli.
"Cipa apaan sih, suruh masuk itu Tatsuki, ngapain masih di luar?"
Adrianna dan Syifa buru-buru menelan gorengan tempe kemudian mengelap bekas minyak pada rok masing-masing, dalam artian terpaksa.
"Gapapa tan, aku udah mau pamit ini," kata Adrianna, menurunkan standar motor untuk beranjak dan mencium tangan ibunya Syifa.
Namun, mata dari Ibu menginterogasi keduanya dari bawah sampai atas. Mereka terlihat seperti orang gosong yang dijemur seharian.
"Ya Allah, kenapa kamu jadi dekil gini?" tanya Ibu mendelik melihat warna kulit Adrianna.
"Ehehe, biasa tan, anak muda, demen main panas-panasan jadinya begini."
"MashaAllah, lama-lama tu kulit kayak si Kipli sering main siang-siang."
"Kipli teh naon, tan? Si paling kenal tuh saya hahaha!"
Adrianna dan Ibunya Syifa tertawa bersamaan.
"Itu, Kipli tu anaknya Haji Muslim, nanti deh tante kasih tahu."
"Udah ah Buk, kasian si Tatsuki udah mau balik, mau magrib soalnya nanti macet." Syifa segera memotong, jika tidak diingatkan, Ibu tidak akan berhenti berbincang dengan Adrianna.
Adrianna akhirnya pergi setelah mengucapkan salam.
Kini Syifa berjalan masuk ke dalam rumah dengan Ibunya. Rumah mereka terbilang sederhana tetapi tidak sempit, cat tembok dan langit-langit atapnya telah dipugar oleh abangnya Syifa yang baru saja mendapat rezeki lebih dari tugas kedinasan. Lampu di ruang tamu dan lorong menuju meja makan telah dinyalakan oleh Ibu.
"Cip, kamu gimana sekolahnya?" tanya Ibu yang kembali sibuk memasukkan nasi ke dalam termos nasi berwarna biru.
Setelah menanggalkan seragam, Syifa membersihkan wajah dan kakinya di kamar mandi. Ia berhenti mengguyur air agar gemerciknya tidak menyamarkan suara Ibu.
"Alhamdullilah, Buk, lancar," jawabnya padahal ia, Adrianna, dan Bermuda ... ya, Bermuda, baru saja dijemur.
Sebuah hari yang penuh warna membuat Syifa tegang sekaligus bahagia. Semua berkat Bermuda yang terang-terangan mau membelanya, padahal dia sedang ada jam pelajaran juga di kelas. Kalau diingat-ingat, Bermuda itu cukup menggemaskan dan perlahan-lahan Syifa mulai paham motif yang Tuan Muda lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
lubang di jalan
Fiksi RemajaMengikuti kisah seorang pemuda bernama Bermuda Raffles yang tengah mencari jati diri. Namun, kata KETERIKATAN membuatnya menjadi amat kompleks. Ini bukan sekadar tentang persahabatan dan cinta. Tetapi, bagaimana ikatan membuat hidup menjadi penuh di...