Bermuda Goblok, Pek!

28 5 16
                                    

Bermuda menghitung detik, menit, jam hingga hari yang dilewati tetapi tak sekalipun ia melihat paras Syifa yang menghilang seperti ditelan kabut. Sinting, perempuan itu benar-benar hilang.

Ini sudah selumbari sejak mata mereka saling bertautan.

Sering kali saat kakinya melangkah di koridor menuju ruangan musik melewati kelas 11 IPS 4, dirinya melirik, mata yang fokus mencari di antara murid-murid yang duduk dengan tertib, tetapi sensor geraknya tidak menangkap Cipa—panggilan yang dibuat-buat oleh Bermuda saat perasaan hangat itu menyelimuti hati dan pikirannya—membuatnya tidak bisa konsentrasi dengan penjelasan guru tentang Gelombang Berjalan atau curhatan Safitri mengenai seorang yang ia suka.

Tetiba ia tak lahap menyantap makan karena perutnya penuh dengan kupu-kupu, sendok dan garpu dibuatnya menari-nari di atas piring, senyum tipis merekah, tatapannya kosong sehingga Andromeda, Ayah dan Ibu melihatnya keheranan.

Rasa hangat di dalam hatinya seperti matahari pagi yang melelehkan embun. Untuk sesaat Bermuda lupa rasanya trauma, semua berkat pandangan pertama yang mengubah segalanya. Namun, di mana pemilik mata cokelat berseri yang membuatnya tidak bisa konsentrasi itu pergi?

Lelaki itu bersumpah, Cipa harus bertanggung jawab atas semua ini.

Ia berjalan mengenakan headphone sambil mendengarkan lagu At Last yang dinyanyikan oleh Etta James. Klasik. Sebuah lagu yang lugas bermakna manja, menggambarkan perasaan unik orang yang sedang jatuh hati.

Unik? Ya, Bermuda beranggapan rasa yang dihasilkan oleh cinta itu hanya dapat dirasakan oleh mereka yang sedang jatuh hati saja. Ia berhenti sebentar, meraih handphone di saku celana kemudian mengeraskan volume saat suara Etta James tiba di bagian kesukaannya.

Oke, sampai mana tadi? Perasaan unik tentang cinta, ya?

Rasa cinta itu unik—seperti saat pertama kali seorang ibu yang meregang nyawa melahirkan bayi menggemaskan kemudian menyentuh tangan kecilnya yang halus, melihat pasangan lansia duduk di taman saling mendekap erat satu sama lain, atau yang terbaru adalah Bermuda yang menyaksikan Cipa menerangkan soal keterikatan.

Bermuda berdecak lalu duduk di bangku kantin dan membuka bekal makan siangnya. Lagi, kaum hawa memandanginya kagum, tetapi Tuan Muda tak acuh.

Ia sedang ingin menyendiri padahal Safitri memaksa untuk makan bersama, membiarkan pikirannya mengembara entah ke mana sementara lidahnya mengecap daging rolade dan sayur buncis yang gurih dengan cita rasa masakan ibu.

Dari sekian banyak pikiran yang bercokol, bagaimana bisa teka-teki Cipa tidak ada di kelasnya belum terjawab?

Saat menyantap suapan terakhirnya, Bermuda melihat ada sekumpulan siswa siswi berbondong mengisi bangku-bangku panjang yang ada di kantin. Lautan suara diredam oleh headphone yang sedari tadi dipakai Bermuda.

Beberapa dari mereka adalah anak-anak dari kelas 11 IPS 4. Namun matanya yang awas belum mendapatkan jawaban akan keberadaan Cipa. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya, sebuah rasa penasaran yang membuat perutnya mulas karena memastikan bahwa perempuan yang dia cari benar ada di sana, di depan kedai mie ayam.

Sayangnya, nihil.

Bermuda merasakan bahunya dicolek oleh seseorang, agak keras sehingga membuatnya sedikit terperanjat. Si pemilik tangan itu duduk bergabung di sebelah Bermuda. Ia memberikan tatapan tak senang sesekali menyesap susu kotakan lewat pipet sedotan.

"Ya?" tanya Bermuda sambil mengalungi headphone-nya.

Perempuan itu ternyata Ratih, ketua kelasnya. Ia berdecak dan memincingkan mata, "Hari ini jam 3 sore, aku harap kamu nggak terlambat lagi. Orkestra sekolah kita masih berantakan, nada sama ritmenya ngawur semua," perempuan dengan logat khas orang Jawa Timur itu menekankan suaranya, sesekali ia mengggit sedotan, "ini nggak bisa dianggap remeh, Mud, NGGAK BISA DIANGGAP REMEH, ngerti ta?"

"I-iya," jawab Bermuda terbata-bata.

Sementara Ratih masih berceloteh, pikiran Bermuda jutsru tidak berada di sana. Ia masih penasaran dengan misinya untuk mencari Cipa. Sekarang jam istirahat, anak-anak IPS 4 sudah keluar dari kelas bak ikan sarden yang lepas dari jaring nelayan.

"Belum lagi nanti pelajaran Bahasa Indonesia, kita gantian kunjungan ke kelas IPS 6. Bu Anya ngasih tugas kelompok, ya opo seh, makin susah jadwale pek." Suara Ratih melemah, di satu sisi Bermuda merasakan seperti ada lonceng berbunyi di kepalanya.

"IPS 6?" kata Bermuda ragu, tatapannya linglung seperti orang yang baru saja dihipnotis.

"Ya sama IPS 6, masa ganti lagi. Kalo dari awal sama mereka ya sama mereka, cok."

Bermuda baru menyadari hal bodoh bahwa selama ini ia mencari di kelas yang salah, lelaki itu mengetuk pelan dahinya dengan tangan kemudian bergegas mengemas kotak bekal, meminum susu kotak milik Ratih, lalu berlari menuju kelas IPS 6 yang ternyata menjadi jawaban dari teka-tekinya selama ini.

"Heh, heh! Kon Asu, Mud, susuku jangan dibawa ... Eh!" seru Ratih kini gilirannya jadi seperti orang linglung, disusul belasan pasang mata mengintimidasi dengan tatapan heran karena kata-kata ambigu.

Bermuda hanya terus berlari dan tertawa kecil.

***

lubang di jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang