DIJEMUR!

19 3 45
                                        

Kebersamaan yang dibangun antara Bermuda dengan Syifa seiring berjalannya waktu menjadi cukup dekat. Perkenalan yang awalnya terbentuk dari rasa malu, lama-lama berkembang menjadi sebuah ikatan.

Ikatan yang semakin kentara batang hidungnya itu justru membuat Syifa menjadi ragu. Ragu karena semua ini terasa begitu lancar. Ragu sebab Syifa tak pernah merasa secepat ini jatuh hati kepada orang lain.

Namun, keraguan itu terkikis seiring ia mengenal Bermuda lebih dekat.

Ini adalah minggu kedua setelah mereka melakukan pendekatan. Tiap malam setelah pukul 8 hingga 9 malam. Mereka bertukar pesan, sesekali Bermuda berinisiatif untuk menelpon, terkadang Syifa juga.

Bagi Syifa, Bermuda adalah sosok laki-laki yang tidak malu menunjukkan effort-nya. Misalnya saat Syifa bercerita ia sangat kesulitan dengan tugas-tugas matematika, kemudian Bermuda menawarkan diri untuk mengajari Syifa, Tatsuki, dan Apoy tanpa pandang bulu.

Atau saat Syifa diajak makan berdua di kantin bersama Bermuda. Keduanya selalu makan 5 menit sebelum bel masuk berbunyi sebab, pada waktu-waktu tersebut rombongan perut lapar—sebutan dari Syifa bagi anak murid yang sedang istirahat—berbondong-bondong kembali masuk ke kelas dan kantin perlahan sepi.

Syifa tak perlu lagi merasa khawatir dengan murid yang suka menggosip dan dipelototi oleh beberapa dari mereka yang tidak suka Tuan Muda-nya dekat dengan rakyat jelata. Walaupun agak sulit makan di waktu yang sempit, tetapi Syifa sangat menikmati kebersamaan yang dibangun dengan Bermuda dan betapa pekanya lelaki itu membaca situasi.

Jam istirahat tak pernah terasa sangat berbunga berkat Bermuda.

Bel jam pulang sekolah sebentar lagi berbunyi. Setidaknya 20 menit lagi, tetapi Syifa si tukang ngantuk sudah tak sanggup menahan kelopak matanya yang amat berat. Bangku kayu sekolahnya yang tidak nyaman serta meja yang dihiasi coretan suara rakyat tiba-tiba menjadi seempuk ranjang, bahkan suara rendah guru matematika-nya terdengar seperti ASMR di telinga Syifa.

Matanya berair, kelopaknya tertutup secara perlahan. Tubuhnya menjadi ringan dan tenang. Syifa sudah masuk ke dalam dunia mimpi hanya dalam jentikan jari.

Suara-suara dari dalam kepalanya terdengar menggema dan aneh—seperti ada yang memanggil-manggil namanya. Dan pada momen itu, Syifa merasakan jantungnya ingin lepas dari dada. Puluhan pasang mata menginterogasinya, guru matematika mengomeli dari depan sana, napas Syifa mendadak pendek.

Siapa sangka, kejadian ini sukses menangguhkan rasa kantuknya yang berubah menjadi adrenalin.

Ia menengok ke tempat Adrianna duduk, malah lebih parah. Sahabatnya tertidur pulas hingga kepalanya menempel di atas meja. Segera Syifa menggoyangkan tubuh Adrianna hingga terbangun, menyeka iler yang membasahi pipi, lalu membuka matanya yang masih enggan. Tetapi matanya langsung terbuka saat tahu guru matematika tengah mengomeli keduanya yang tertidur saat jam pelajaran berlangsung.

"Sekarang kalian pergi ke kamar mandi, cuci muka, dan silakan berjemur di bawah sinar matahari. Supaya setan ngantuk yang ada di mata kalian minggat," pinta Ibu Mita seraya menunjuk ke arah daun pintu yang terbuka lebar.

Adrianna dan Syifa saling bertukar pandangan. Panik. Mereka kemudian berlari melewati barisan bangku yang tertawa karena kejadian ini, hanya Apoy yang tidak ikut tertawa karena merasa iba teman-temannya diusir dari kelas.

"Kamu tidur ya, Cip?" tanya Adrianna suaranya bergetar.

"Iya, aku ketiduran. Kan aku bantuin Ibu nyiapin jualan sebelum subuh."

Mereka berlari ke arah kamar mandi. Setibanya di depan wastafel, Syifa langsung membuka keran pancuran, membiarkan alirannya yang dingin terkumpul pada telapak tangan hingga tumpah, dan membasuh wajahnya sebanyak tiga kali.

lubang di jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang