Let's Talk About It, DON'T RUN!

36 4 43
                                    

Begitu tiba di depan kelas 11 IPS 6, memang benar bahwa selama ini Bermuda salah menguntit Syifa. Dia harus segera meminta maaf kepada Tuhan sebab ia tak ubahnya seorang sesumbar yang yakin dengan dirinya padahal kenyataannya tidak demikan.

Bermuda menjaga jarak sekitar 5 meter dari pintu masuk. Ruangannya tidak begitu ramai, hanya terlihat sekitar 15 murid yang entah ke mana setengahnya. Manik matanya menelusuri bangku, meja, dan sekumpulan siswa siswi yang sibuk membersihkan kelas.

Ia semakin yakin ini adalah kelas Syifa karena Bermuda mengenali wajah siswa dengan kacamata besar, rambut keriting acak-acakan, raut wajah seperti orang mabuk sedang menjejalkan kemoceng ke tangan siswi berparas oriental dengan rambut hitam kecokelatan berjatuhan di atas bahu yang nampak kesal karena tangannya kotor.

Senyum geli terlukis di wajah Bermuda, tetapi segera pudar kala ia sadar bahwa Syifa tetap tak berada di sana, bahkan di tiap sudut kelas yang sudah diperiksa jawabannya nihil.

"Kamu Bermuda dari kelas IPA 2, kan?" suara yang terdengar dalam dan berwibawa itu mengacak fokus Bermuda, seorang lelaki dengan rambut cepak rapi dengan kulit sawo matang berdiri menyeringai ramah.

"Oh iya salam kenal, namamu?"

"Rully, aku ketua kelas dari IPS 6," jawab Rully seraya menjabat tangan Bermuda dengan erat—bukan jabat tangan yang sakit tetapi memiliki makna diplomatis.

"Dua hari lalu waktu kunjungan IPS 6 ke IPA 2, harus aku akui kalau keramahan yang ditunjukkan sama ketua kelas kalian ..."

"Ratih?" sambung Bermuda, Rully menjetikkan jarinya. Dasar lelaki, ingat wajah tetapi lupa nama.

"Rasanya enggak sopan kalau kalian kunjungan ke kelas IPS 6 tetapi tidak mendapatkan keramahan yang sama."

Bermuda mengangguk-angguk setuju, sementara wajah-wajah kegirangan kaum hawa dari kelas IPS lainnya tengah mengagumi si Tuan Muda dari jendela, tetapi Bermuda lagi-lagi tak acuh. Ia mendengarkan Rully yang memuji kelas yang dipimpin oleh Ratih, lelaki ini benar-benar cocok menjadi seorang diplomat atau politisi, kata-kata yang keluar dari mulutnya itu sangat hati-hati dan penuh retorik.

Ternyata bawelnya Ratih ada gunanya juga, Bermuda membatin sambil berdecak kagum, kemudian terdengar suara lembut "permisi," seorang siswi yang hedak masuk, tak lupa ia membungkuk sembari membawa pengkinya yang sudah kosong.

"Oh, Cipa kamu sama kloter 15 menit awal silakan istirahat. Nanti gantian sama teman-teman yang sudah istirahat duluan ya, kasih tahu yang lain juga," kata Rully sekaligus menyingkap dua jawaban yang membuat Bermuda bertanya-tanya.

Pertama, ternyata setengah dari murid IPS 6 sedang istirahat karena Rully memanfaatkan dua kloter untuk menata kelas; sungguh sosok pemimpin yang demokratis berbeda dengan Ratih yang otoriter. Kedua, perempuan santun yang datang dengan pengki lengkap bersama sapunya adalah Syifa alias Cipa—anehnya, nama buat-buatan Bermuda senada dengan panggilan teman-teman kelasnya.

Kebetulan macam apa ini?

Lamat-lamat suara seorang perempuan yang renyah tetapi enak didengar muncul dari pengeras suara. Sebagai catatan tiap jam istirahat—15 menit sebelum masuk, jika kamu ingin mengajukan lagu yang ingin diputar bisa hubungi admin di instagram @UnaRadioFM atau laman X dengan nama serupa.

Bersamaan dengan lagu yang diputar, seorang murid dari kelas 12 IPA 3 meminta agar diputarkan lagu asal british band music yakni Jungle berjudul Talk About It. Bersamaan pula dengan Bermuda yang secara spontan menautkan tatapannya dengan Syifa—Cipa, yang sudah ada di hadapannya.

Riuh-rendah lorong-lorong dan kelas seakan bisu, musik bertempo cepat yang dibawakan Jungle membuat jantungnya berdebar-debar hendak meledak. Dari jarak sedekat itu, Bermuda baru tahu bahwa iris mata Syifa berwarna cokelat bukan hitam, ada bekas jerawat di bawah dagu dan dahi, pipi penuhnya juga merona. Syifa mencepol rambutnya untuk menangguhkan hawa panas yang ditandai dengan peluh sebesar biji jagung jatuh dari dahinya.

Bermuda menelan ludah, jari manis tangannya tetiba berkedut. Rully masih mengobrol dengan Syifa, tetapi mata perempuan yang tengah malu itu bergantian ke tempat Rully dan Bermuda berdiri—pipinya memerah, tatapannya bingung seperti anak kecil yang lupa menaruh uang kembalian ibunya dari pasar.

"Nah, sekarang giliranku untuk istirahat, senang bisa ngobrol sama orang keren," kata Rully kemudian pergi menuju kantin bersama beberapa teman sekelasnya.

Perwakilan kloter kedua berduyun-duyung masuk menggantikan kloter sebelumnya. Terlihat perempuan oriental yang mendengus kesal karena berdebat dengan lelaki urakan itu menghampiri Syifa kemudian mengajaknya pergi keluar.

"Apaan sih Poy. Ayo Cip, ayo buruan, laper banget, nih," seru siswi bernama Adrianna Tatsuki itu sambil menarik Syifa yang masih mematung kemudian berlalu meninggalkan Bermuda yang ikut menjadi patung.

"Ah elah jangan tinggalin," lelaki urakan itu menyusul, tak sengaja bahunya menabrak Bermuda tetapi justru ia yang terjatuh sambil mengelus bokongnya yang kesakitan.

"Eh, sori," kata Bermuda membantunya berdiri, lelaki itu padahal lebih tinggi tetapi tubuhnya yang kerempeng membuatnya ringkih.

"Jalan pakai mata, dong," katanya, "untung belum ngeluarin kekuatan penuh."

Bermuda melihatnya heran, padahal dia tak bergerak sama sekali.

"Apoy, kalo lama kita tinggal," panggil Adrianna.

"Iya, iya, sabar dulu."

Ternyata Adrianna dan Apoy adalah temannya Syifa. Sebelum Syifa hilang di persimpangan lorong menuju kantin, Bermuda menatapnya sekali lagi, perempuan itu juga. Lomba saling tatap menatap usai ketika pandangan mereka tertutup Apoy yang berlari seperti ayam menyebrang jalan.

Kurang ajar.

***

lubang di jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang