Solidaritas dan Demokrasi, tapi Jangan Posesif

28 3 45
                                    

Memasuki jam pulang sekolah Syifa masih enggan untuk membalas berondongan pertanyaan yang diutarakan oleh Adrianna. Padahal perempuan berdarah Jepang itu sudah memohon-mohon menggunakan bahasa Indonesia, Jepang hingga Sunda, tetapi Syifa belum mau memaafkan malah dahinya makin berkerut.

"Aku harus gimana ini?" tanya Adrianna mencuil pundak Apoy yang duduk di depannya.

"Ah, enggak tahu," balas Apoy lirih, tatapannya masih mengarah ke tempat guru sejarah mereka menerangkan false history yang selama ini dipelajari oleh murid pada generasi sebelumnya.

Kegaduhan pada bangku nomor dua dari belakang itu mengganggu guru sejarah yang sedang menerangkan. Ia menutup spidol, masih menceritakan sisi lain kerja rodi yang ternyata dibayar oleh pihak kompeni tetapi uangnya dikorupsi oleh bupati, kemudian ia memanggil nama Adrianna Tatsuki dengan lembut dan cenderung berhati-hati.

Seketika punggung Adrianna menegang dan matanya membelalak lebar. Ia buru-buru membuka buku sejarah sembarangan. Guru mereka memang bukan tipe yang galak atau meledak, justru karena kebaikan serta kelembutannya itu membuat murid-murid menjadi segan dengannya.

"Ayo Adrianna, kamu bisa terangkan kembali apa yang bapak sampaikan?"

Sungguh tenggorokan Adrianna tetiba kering. Ia menggaruk kepala, sementara belasan pasang mata mengiterogasinya. Mungkin ini yang dirasakan oleh bupati korup waktu era tanam paksa jika saja ia ketahuan—perasaan gugup dan ingin pergi mengganti identitas ke negara lain.

Syifa merasa iba kemudian menggeser buku catatannya untuk dibaca oleh sahabat sebangkunya itu. Adrianna melirik ke tempat Syifa yang masih membuang muka ke tempat lain. Namun hatinya menjadi lega seperti beban berat yang membelenggu telah hilang ditiup oleh angin.

Adrianna lega sebab ia bisa menjawab pertanyaan guru dan merasa sedikit tenang karena Syifa masih peduli dengannya.

Seperti dugaannya, catatan yang ditulis oleh Syifa sungguh akurat. Guru sejarah mengangguk puas, menyetujui rangkuman yang dibaca Adrianna, dan kembali menerangkan pada sisa waktu mengajarnya. Kini Adrianna menoleh ke arah Syifa yang kembali sibuk mencatat, kemudian mereka saling menatap, senyum geli terulas sebagai tanda perdamaian.

Adrianna segera menggelayuti lengan sahabatnya.

"Makasiii sayang," kata Adrianna dengan suara yang cenderung dibuat-buat seperti anak kecil.

"Dih, enggak jelas," balas Syifa tak lama bunyi bel sekolah menggema ke seantero Una.

***

"Kamu beneran udah enggak marah, kan?" tanya Adrianna sambil menyedot susu kardusan rasa cokelat.

"Enggak, tapi jangan gitu lagi dong, Tat. Aku tuh malu kalau chattingan sama Bermuda," jawab Syifa yang saat ini sedang membuat sebuah sketsa pada sketchbook-nya yang hampir penuh.

"Bagus dong, Cip. Kan kamu jadi tahu kalau Bermuda balasnya juga cepet, dia ramah pula, kapan lagi deket sama Kasep, banyak yang iri euy!"

Syifa berhenti menggurat karakter setengah jadi pada bukunya, kemudian melihat Adrianna tajam, "kamu mah kalau mau naksir Bermuda pakai ponsel kamu sendiri, Tat, jangan pakai ponselku, ih!" padahal dalam hatinya, bunga musim semi sedang bermekaran dan ia ingin sekali berterima kasih kepada Tatsuki yang sembrono itu.

Adrianna hanya tertawa nakal lalu menggigit pipet sedotannya dan menggelayuti Syifa lagi. Sungguh, walaupun mudah dijahili, Adrianna tetap takut jika sahabatnya ngambek.

lubang di jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang