Makan Malam Keluarga

33 7 33
                                    

Malam itu bulan purnama yang pucat masih setia memancarkan cahayanya, sekalipun tahu bahwa sinarnya kalah ditelan oleh jutaan lampu buatan manusia. Bermuda memandangi langit malam dari balkon rumahnya, ia membawa sebuah mug yang berisi teh hangat sambil berandai-andai—jika polusi cahaya terus seperti ini dan tidak ada solusi yang efektif.

Bagaimana cara mengurangi kandungan karbon dioksida yang terus menggumpal dan merusak ekosistem? Navigasi burung yang terganggu akibat cahaya lampu? Hingga dampak buruk bagi kesehatan manusia kedepannya?

Sungguh peradaban yang mendekati kehancuran, Bermuda mengeratkan kepalan tangan pada mug-nya. Ia kembali memikirkan kemungkinan lain yang paling ekstrem, apa justru manusia yang menciptakan kiamat itu sendiri?

Di tengah ketakutan itu, Bermuda kembali memikirkan kejadian memalukan—dalam artian baik, saat matanya bertaut dengan perempuan bermata cokelat dengan pipi penuh yang menggemaskan bernama Syifa.

Ia tak habis pikir betapa kerennya topik esai yang diangkat oleh siswi IPS itu. 

Keterikatan. 

Ya, satu kata berjuta makna bagi Bermuda yang mencurahkan isi hatinya kepada bulan yang selalu setia menjadi saksi bisu.

Bermuda sepakat bahwa keterikatan seperti pisau bermata dua, ia telah membuktikannya. Seseorang yang sangat dipercaya oleh Bermuda—tidak, bukan seorang, melainkan dua orang. Ternyata sukses menghunjamnya dengan pengkhianatan yang meninggalkan rasa sakit tiada tara.

Andai Bermuda bisa memutar waktu dan membayar apapun agar terlepas dari rasa sakit sekaligus trauma yang diberikan oleh keterikatan tersebut. Maka, ia rela kehilangan semua uang dan materi asal tidak perlu lagi menahan rasa sakit ini.

Rasanya seperti ditabrak truk berkecepatan tinggi—kamu tidak langsung mati di tempat, sementara tubuhmu yang sudah hancur ditikam rasa sakit, memohon agar segera selesai dari penderitaan.

Kamu hanya bisa berharap mati, tetapi ajal masih ingin bercanda.

Mungkin deskripsi ini yang setidaknya dirasakan oleh Bermuda saat (mantan) sahabatnya sejak kecil, yakni Reza, terang-terangan merebut pacar yang kini menjadi mantan Bermuda.

Mengingat kenangan pahit itu membuat dada Bermuda sesak. 

Truk itu kini menabrak dadanya.

Ia menggigit bagian dalam rahang dan menyatukan alisnya. Rasanya, mug yang berisi teh hangat setengah habis itu ingin ia lempar ke jalanan dan membiarkannya pecah berkeping-keping, sebuah analogi yang cocok menggambarkan perasaan hati Bermuda saat ini.

"Makan malam, Mama manggil dari tadi," kata seorang perempuan ketus dari balik pintu, kemudian pergi tanpa menunggu jawaban Bermuda.

Perempuan tadi adalah kakanya Bermuda, sedang kuliah semester tiga—jurusan teknik informatika kampus negeri ternama di Indonesia. Orangnya irit bicara dan tak suka bercengkrama. Kesibukannya hanya membaca, membaca, membaca dan bermain gim Dota 2.

Namanya Andromeda.

Sebelum beranjak, Bermuda mendinginkan situasi dengan menarik napas panjang lalu merasakan detak jantungnya yang kembali stabil. Selain ingin melampiaskan amarah dengan melempar mug, ia ingin menjerit lalu memaki Reza dan mantannya tepat di wajah mereka.

Brengsek, kapan matinya mereka?

***

Makan malam keluarga berjalan seperti biasa.

Di atas meja beralaskan kain halus dengan warna pastel telah terhidang seporsi besar tumis selada air yang harum, seekor ikan gurami saus padang yang masih berasap, dan tentu saja semangkuk sapo tahu berisikan sayur juga aneka boga bahari; udang, cumi serta kerang dara kesukaan Andromeda dan Bermuda.

lubang di jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang