BOUNDARIES

11 3 54
                                        

Begitu lorong-lorong menjadi relatif sepi, Syifa menghela napas lega. Ia masih setia menunggu di depan ruangan musik. Duduk dan sabar menanti Bermuda selesai latihan sementara lamat-lamat bunyi alunan lagu bernadakan jazz terdengar dimainkan kemudian diulang, dimainkan lagi dari posisi akhir lalu diulang kembali.

Menunggu sendiri memang tidak menyenangkan. Bermuda telah berpesan agar Syifa pulang bersama Adrianna atau Apoy, tetapi ledakan cinta yang dirasakan olehnya lebih besar ketimbang buru-buru ingin bersantai di rumah. Maka, Syifa memilih untuk sabar menunggu Bermuda.

Sepertinya latihan mereka begitu intens. Beberapa kali Syifa dapat mendengar suara pekikan perintah yang diutarakan oleh Pak Hilwan. Rasa khawatir perlahan menggelayuti benaknya, apakah mungkin Bermuda melakukan kesalahan atau temponya berantakan?

Ia membayangkan Bermuda atau lainnya sedang ditunjuk, dimarahi karena permainan mereka tidak senada. Bermuda pernah bercerita, adik kelas mereka, Nandika, membayang-bayangi posisi Bermuda sebagai drummer inti band-nya. Anak baru biasanya memiliki daya ledak luar biasa, Syifa khawatir bahwa posisi Bermuda akan digantikan oleh adik kelasnya.

Sama seperti Bermuda menggeser posisi kakak kelasnya.

Sebuah jendela bulat berukuran kecil yang menempel pada pintu menjadi medium bagi Syifa untuk mengintip jawaban dari pertanyaannya. Ia menaruh kedua tangan di sebelah matanya agar tidak ada cahaya menyusupi. Ruangannya terlihat gelap, hanya ada lampu sorot yang di arahkan ke panggung. Syifa menyipitkan mata, lalu melihat Ratih tengah berdebat dengan pemain sax mereka.

Sementara Bermuda, lelaki itu masih sibuk mencoret kemudian membaca partitur not dari bukunya. Melihat wajah kekasihnya yang sangat amat serius sekalipun dari kejauhan, membuat hatinya agak sedikit tenang.

Bagaimana bisa anak seorang manusia bisa terlihat setampan itu di bawah sorot lampu panggung? Dia lebih cocok disebut malaikat rupawan ketimbang manusia. Ekspresinya datar, bibir tipisnya tertutup rapat, kemeja lengan panjang yang dilipat. Pertanyaan yang sama, mengapa dia bisa jatuh hati dengan Syifa hanya karena sebuah esai bertema keterikatan?

Saat itu juga Syifa merasakan aliran darah menuju kepalanya bergerak cepat dan hangat. Ia merasa aman dan bahagia. Jatuh cinta untuk pertama kalinya, berpacaran langsung dengan si anak populer, sungguh tidak pernah terpikirkan dalam benak Syifa bahwa skenario dari Tuhan ini akan terjadi.

Ia menatap jam tangan berwarna kuning dengan gambar beruang. Sudah memasuki pukul 4 sore, tetapi Syifa tidak keberatan. Apalagi saat ada suara "Hai!" yang terdengar dari arah belakangnya yang ternyata adalah Safitri.

Lelaki itu menenteng tas raket, lengkap mengenakan pakaian kerah berwarna biru dongker dan celana putih selutut. Ia membetulkan posisi ikat kepala sebelum akhirnya berdiri di hadapan Syifa dengan senyum lebar memancarkan keramahan.

"Kamu mau latihan, Saf?" tanya Syifa seraya membalas tos Safitri, telapak tangan lelaki itu lebih besar darinya.

"Iya, soalnya minggu depan ada sparring . Kamu masih nungguin Bermuda?" balasnya seraya melongok ke dalam ruangan musik, Syifa hanya mengangguk kemudian keduanya duduk berdua pada kursi panjang.

"Cip, aku boleh nanya?"

"Tanya aja, Saf."

Safitri menatap ke arah tembok dengan tatapan kosong dan senyum tipis terpancar di wajah.

"Adrianna, teman kamu itu, dia udah pacaran sama Bari? Di medsos anak-anak ramai banget bicarain mereka."

Pertanyaan Safitri membuat Syifa menaikkan salah satu alisnya, "Enggak Saf, ceritanya rumit. Aku lebih kasihan sama Tatsuki, sih."

lubang di jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang