Bukan posisi duduk dengan formasi melingkar, kini Bu Anya memerintahkan kelas di bawah nahkoda Rully duduk dengan saling berhadapan. Sisi kanan dari Bu Anya ada anak-anak IPS, sementara sisi kiri adalah Bermuda dan kawan-kawan.
Suasana agak sedikit tegang sebab, total 50 siswa yang ada di kelas itu tak tahu ada rencana apalagi yang dicetuskan oleh guru banyak akal satu ini. Wanita itu berdiri di tengah-tengah, memandang ke sembarang arah, kemudian terdengar bunyi tok ... tok ... dari sepatu haknya atau satu-satunya bunyi yang terdengar di kelas tersebut.
Perangainya ramah namun, tatapan pengorek informasinya membuat para murid tak berani menatapnya. Bermuda melirik jam dinding, ini sudah 5 menit tetapi Bu Anya tak kunjung memberikan materi atau membahas penggalan esai mereka beberapa hari lalu.
Bermuda menelan ludah saat tak sengaja menautkan matanya ke tempat Bu Anya berdiri. Jujur saja, Bermuda tak pernah merasa secanggung dan setegang ini di mata pelajaran apapun. Ia bisa menjawab semua, tetapi ada yang berbeda dari guru Bahasa Indonesia itu hari ini.
"Ratih," panggil Bu Anya kemudian berpaling ke tempat duduk murid IPS berada, "dan Rully, silakan maju ke depan."
Bermuda menghela napas panjang, ternyata Bu Anya menatap Ratih yang duduk di sebelahnya, bukan dirinya. Detak jantungnya mereda sebentar tetapi berdegup cepat lagi saat ia mendapati Syifa yang duduk di baris kedua masih dengan sahabatnya—Adrianna dan Apoy, menatap gerak-gerik Bermuda kemudian membuang tatapannya ke arah papan tulis.
Oh, sukses? Bermuda membatin, ternyata ia berhasil mencuri perhatian Cipa—maksudnya, Syifa sejak pertama saling bertukar pandangan. Memang benar kata orang-orang yang tengah kasmaran: dari mata, jatuh ke hati.
"Ibu sudah memutuskan akan memberikan tugas kelompok untuk kalian. Ratih dan Rully, ibu telah membuat daftar anggota yang terbagi dalam sepuluh kelompok, dari sepuluh kelompok itu akan dipisah dalam dua kloter, yakni kloter ujian tengah semester dan ujian akhir semester," Bu Anya memberikan kertas berwarna kuning kepada Ratih dan kertas berwarna biru kepada Rully.
"Nah sekarang Ratih tolong bacakan nama-nama anggota lima kelompok yang tergabung pada kloter tengah semester."
Ratih mendekatkan dirinya di antara kumpulan siswa dan siswi. Ia memang seorang ketua kelas yang tegas dan ketus, tetapi pada siang hari itu, saat matahari hendak berjalan menuju pucuk khatulistiwa dan memberikan hawa panas yang menyengat—Ratih nampak gugup untuk pertama kalinya di muka umum.
Satu per satu nama murid terpanggil. Kelompok pun berisi antara siswa dan siswi IPA serta IPS yang terbagi rata. Namun nama Bermuda atau Syifa belum disebutkan oleh Ratih. Keduanya menghadapi sebuah pengalaman yang sangat menegangkan.
Bermuda bukanlah tipe yang religius kecuali untuk siang hari ini, sebagaimana seorang hamba yang tak tahu diri, ia kembali ingat kepada Sang Pencipta di saat-saat genting bahkan tak habis-habisnya berdoa agar bisa satu kelompok dengan Syifa.
Sementara perempuan berpipi penuh itu tengah meremas ujung rok abu-abunya karena menahan lonjakan aneh yang menohok perut hingga dadanya. Rasanya tidak sakit, tetapi menggelitik dan sangat tak nyaman, sama seperti menunggu hasil lomba dan ujian setelah sekian lama bersusah payah bekerja keras demi hasil yang sesuai ekspektasi.
Nama-nama anggota kelompok 4 yang telah disebut. Ternyata Adrianna Tatsuki yang terpaksa harus berpisah dari Syifa dan Apoy. Ia nampak gusar dan mengumpat secara lirih, tak luput kertas kosong di buku tulisnya ia coret asal-asalan.
"Masya Allah, nanaonan ieu! Gimana teh ini Cip, Poy, masak kita pisah bjir!" kata Adrianna lemas, berkali-kali ia menggoyangkan lengan Syifa seakan hal itu bisa mengubah keputusan Bu Anya.
KAMU SEDANG MEMBACA
lubang di jalan
Teen FictionMengikuti kisah seorang pemuda bernama Bermuda Raffles yang tengah mencari jati diri. Namun, kata KETERIKATAN membuatnya menjadi amat kompleks. Ini bukan sekadar tentang persahabatan dan cinta. Tetapi, bagaimana ikatan membuat hidup menjadi penuh di...