0.2

343 35 4
                                    

"Tapi kondisinya kurang meyakinkan. Apa tidak sebaiknya dia dibawa ke rumah sakit saja?" suara Pak Kim bergetar, penuh keraguan, mencerminkan kepeduliannya yang mendalam.

"Nggak perlu. Tolong, berikan jam tambahan untuknya. Dia tidak boleh ketinggalan materi sedikit pun," Jisoo menjawab tegas, suaranya terdengar seperti petir di tengah hujan. Ia memutus saluran telepon dengan penuh determinasi, meski hati kecilnya meragukan keputusannya.

Pak Kim menatap layar ponselnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya kepada Hyunjin yang terbaring lemah di atas brankar. Di dalam pikirannya, muncul gelombang keinginan untuk menyelamatkan anak itu, namun keputusan Jisoo bagaikan belenggu yang tak terelakkan—hanya ruang kesehatan sekolah yang diperbolehkan, tidak lebih.

"Hyunjin? Sudah bangun? Gimana perasaan kamu? Ada yang sakit?" Pak Kim berusaha menembus kabut ketidakpastian saat melihat Hyunjin berjuang mengubah posisinya menjadi duduk. Kepala Hyunjin berdenyut, seakan dunia berputar di sekitarnya. Hyunjin memijit pelipisnya pelan, berusaha menepis rasa sakit yang menggerogoti.

"Jam tambahan, ya. Jika bisa dipercepat, Pak. Soalnya, saya harus les piano," jawab Hyunjin, nada suaranya penuh tekad meski terlihat lemah.

"Les piano? Dalam keadaan seperti ini? Kamu yakin masih sanggup?" Pak Kim mempertanyakan dengan nada yang lebih lembut, khawatir melihat kondisi Hyunjin.

"Sanggup atau tidak, saya harus menjalani. Mama saya nggak akan peduli," ucap Hyunjin, senyumnya yang pahit mencerminkan kepasrahan yang mendalam. Di mata Pak Kim, ada kedukaan yang membuncah saat melihat anak itu terjebak dalam belenggu harapan dan tuntutan.

"Kamu mau ke mana? Istirahat dulu!" Pak Kim mencoba menarik lengan Hyunjin, berusaha membujuknya kembali ke dalam pelukan aman dari dunia luar.

"Saya harus masuk kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasa." Hyunjin menegaskan, suara di dalam dirinya seperti api yang tak kunjung padam, meski badai menyelimuti.

"Lebih baik istirahat dulu sebentar, ya? Kamu nggak perlu mengikuti jam tambahan sehingga bisa langsung les piano," Pak Kim mencoba menawarkan jalan keluar yang lebih bijaksana.

Hyunjin menggeleng pelan. "Mama pasti marah. Walaupun Pak Guru nggak bilang, Mama pasti tahu. Segalanya, apapun yang saya lakukan, Mama pasti tahu." Setiap kata yang terucap membawa beban yang semakin berat, seolah ia berjuang melawan arus yang tak terelakkan.

Dengan hati-hati, Hyunjin turun dari brankar, membungkuk dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Kim. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti perjalanan menanjak menuju jurang yang dalam. Pak Kim hanya bisa menghela napas pelan, merasa khawatir melihat kepergian Hyunjin.

Jam pelajaran di sekolah sudah berakhir sejak tadi, tetapi Hyunjin masih terperangkap dalam jam tambahan yang membosankan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam pelajaran di sekolah sudah berakhir sejak tadi, tetapi Hyunjin masih terperangkap dalam jam tambahan yang membosankan. Pikirannya melayang jauh, tidak dapat fokus pada pelajaran yang ada di depannya. Pandangannya berkunang-kunang, kepalanya berdenyut nyeri, seolah setiap detik terasa melambat hingga jam tambahannya selesai.

Hug Me, Love Me || Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang