1.3

356 55 14
                                    

Hari demi hari, Hyunjin terus bertanya pada dirinya sendiri. Untuk apa ia hidup? Apa tujuannya yang sebenarnya? Apa impiannya? Apa wishlist-nya? Kenapa ia terus saja berjalan tak tentu arah, seperti kapal tanpa nakhoda yang hanyut di tengah lautan?

Perasaan hampa dan bingung menyelimutinya. Ia merasa benar-benar tak memiliki tujuan hidup. Setiap hari, ia hanya menjalani rutinitas yang diperintahkan oleh Mama, berharap suatu saat Mama akan menerimanya kembali dan berhenti menyalahkannya atas kematian Jeongin.

Sebuah penghapus papan tulis melayang dengan tiba-tiba, mendarat tepat di atas meja Hyunjin. Ia terkejut, matanya terpaku pada penghapus itu, sementara pikirannya masih melayang jauh di luar jendela, menatap hujan yang turun deras.

"Dari tadi saya perhatiin, kamu nggak memperhatikan pelajaran saya," suara guru yang tegas memecah konsentrasinya. "Sini maju ke depan."

Hyunjin terpaksa berdiri di depan kelas, merasakan tatapan teman-temannya yang penuh cemoohan. Hatinya berdebar, tidak hanya karena rasa malu, tetapi juga karena beban yang semakin berat. Ia merasa seperti anak kecil yang selalu salah di mata orang dewasa.

Setelah tiga jam penuh berdiri, kakinya serasa ingin patah. Ia berusaha untuk tetap fokus, meskipun pandangannya mulai kabur. Belum lagi, saat ia dipanggil ke kantor guru setelah kelas selesai. Gurunya yang satu ini sepertinya sangat suka mengerjainya, membuatnya merasa semakin terasing.

Dengan langkah gontai, Hyunjin pergi menuju kantor, merasakan setiap detik berlalu seperti tahun. Dalam benaknya, hanya satu harapan yang ada, agar semua ini cepat berlalu.

"Mau jadi apa kamu nanti?" tanya guru dengan nada sinis, mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam.

"Nggak kasihan sama Mama kamu? Nggak bisa menghargai sama sekali, bahkan sekarang sudah jadi maling?" kata-katanya bagaikan pisau yang menusuk.

Hyunjin ingin membela diri, tetapi suara-suara di sekitarnya terasa seperti dengungan yang mengganggu. Pandangannya kabur, dan dunia seakan berputar di sekelilingnya.

"Hwang Hyunjin! Kamu denger Bapak tadi ngomong apa?" suara guru itu menggema, semakin membuatnya tertekan.

"Iya, mohon maafkan saya, Pak," jawab Hyunjin dengan suara pelan, membungkuk meminta maaf. Ia sudah tak punya tenaga lagi untuk melawan. Beruntungnya, ia segera dipersilahkan pergi.

Dengan langkah lunglai, Hyunjin berjalan sambil bertumpu pada tembok, berusaha menahan sakit di kepalanya yang berdenyut-denyut nyeri. Kenapa ya? Akhir-akhir ini, ia merasa ada yang salah dengan dirinya sendiri, seolah seluruh dunia menuntutnya untuk lebih dari apa yang bisa ia berikan.

Hyunjin mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha mempertahankan kesadarannya. Setiap detik terasa begitu berat, dan ia bertanya-tanya, sampai kapan semua ini harus berlanjut.

Tak lama, seseorang datang merangkul bahunya dari belakang. Tentu saja, itu adalah Jeno, dengan wajahnya yang penuh percaya diri, diiringi kawan-kawannya yang tampak santai.

"Hoi, hoi! Temen gue keliatan nggak sehat hari ini," ujar Jeno dengan nada mengejek.

Hyunjin tak menanggapi. Wajahnya terlihat lelah dan sayu. Ia hanya membiarkan Jeno menariknya, terpaksa dirangkul sepanjang jalan.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu Changbin. Melihat kondisi Hyunjin yang jauh dari baik, Changbin segera menarik lengan saudara kembarnya itu dengan ekspresi khawatir.

"Lo kenapa? Kita baru aja mau ngumpul bareng," ucap Jeno.

"Gue ada keperluan sama Hyunjin," jawab Changbin tegas, berusaha melindungi Hyunjin.

Jeno mendengus kesal, tapi setelah beberapa detik, ia akhirnya pergi, membiarkan Changbin membawa Hyunjin.

"Lo kenapa?" tanya Changbin lembut sambil memapah Hyunjin. Niatnya ingin membawa Hyunjin menuju ruang kesehatan, namun baru beberapa langkah, Hyunjin menepis tangan Changbin yang menggandengnya.

Hug Me, Love Me || Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang