1.2

227 45 4
                                    

Hyunjin membasuh wajahnya berulang kali di wastafel, menatap pantulan dirinya di cermin. Mual tak tertahankan menggulung di perutnya hingga ia muntah, membuat wajahnya tampak semakin pucat.

Felix sudah dibawa ke rumah sakit bersama Ayah, Mama, dan Minho, sementara Changbin dan Hyunjin terpaksa tinggal di rumah. Pesta pernikahan Ayah dan Mama yang semula meriah harus diakhiri lebih cepat dari rencana.

Hyunjin menutup kran air pelan dan menghela napas pendek, merasakan beban yang berat di dadanya. Seperdetik kemudian, telepon genggamnya berdering. Ia segera merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.

Nama Ayah terpampang di layar ponselnya. Dengan ragu, Hyunjin menggeser layar ponsel menggunakan jari telunjuknya.

"Saudara tiri kamu ada di rumah sakit. Kenapa kamu nggak sekalian ke sini?"

"Buat apa? Yang sakit cuma Felix," balas Hyunjin, berusaha menghindari percakapan yang tidak ingin ia hadapi.

"Siapa yang bilang? Sebenarnya ada yang mau Ayah omongin."

"Tentang yang waktu itu? Jawaban Hyunjin masih sama, Hyunjin nggak mau ikut Ayah."

"Kenapa?"

Hyunjin menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Hyunjin benci Ayah," ujarnya, suaranya bergetar. Air mata mengalir deras dari pelupuk matanya, menyusuri pipinya, bersamaan dengan tiga kata yang baru saja ia ucapkan.

"Ayah tahu. Nggak apa-apa, Ayah bisa mengerti kamu. Tapi tolong, Ayah pengen ketemu kamu sebentar," suara Jinyoung terdengar penuh harap.

"Buat apa? Apa Ayah mau mohon-mohon sama Hyunjin supaya ikut Ayah? Setelah dua tahun Ayah menghilang tanpa ngasih kabar sekali pun?"

"Ayah cuma nggak mau ganggu kamu. Ayah pikir hidup kalian akan lebih bahagia tanpa kehadiran Ayah."

"Anak mana yang bahagia setelah orang tuanya pisah? Jeongin bahkan belum lama meninggal saat itu. Bisa-bisanya Ayah bilang Hyunjin bahagia? Nggak, Yah. Hyunjin nggak bahagia sama sekali. Setiap hari rasanya semakin sesak buat nanggung semua beban ini sendiri." Hyunjin terisak, air mata membasahi pipinya, membuktikan betapa berat perasaannya.

"Tolong jangan hubungin Hyunjin lagi. Jangan pernah sekali pun Ayah nunjukin diri di hadapan Hyunjin-"

"Ini tentang hasil tes kamu. Tes kesehatan, Ayah pengen ketemu kamu buat ngasih tau hal ini."

Tanpa menghiraukan perkataan Jinyoung, Hyunjin memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

Changbin memasang wajah datarnya. Sudah sejak tadi dirinya berdiri di sebelah pintu kamar mandi menunggu Hyunjin yang tak kunjung keluar. Mulanya dia akan mendobrak pintunya, tapi mendengar Hyunjin yang sedang berteleponan membuat Changbin mengurungkan niatnya.

Suara pintu terbuka menggema, Changbin sedikit bergeser ke samping, memberi ruang bagi Hyunjin untuk keluar dengan lebih leluasa.

"Lo nggak mau ikut Ayah?" Tanya Changbin tiba-tiba.

Hyunjin menghela napas kasar. "Kenapa? Lo muak harus ngeliat pembunuh adek lo tiap hari? Atau lo iri karena Ayah cuma nawarin gue doang biar ikut Ayah?"

Changbin mengepalkan tangannya. "Lo sekarang ngaku? Kalo lo pembunuh?"

"Kalo gue bilang bukan. Apa lo bakal berhenti benci sama gue dan berhenti nyebut gue pembunuh?"

"Berhenti?" Changbin tersenyum miring, ada kepahitan di wajahnya. "Apa yang lo lakuin itu bukan cuma ngilangin nyawa seseorang, tapi ngehancurin satu keluarga yang awalnya baik-baik aja jadi berantakan. Hidup mereka semua hancur karena kesalahan yang lo perbuat."

Hug Me, Love Me || Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang