1.9

475 66 39
                                    

"Ke mana kamu kemarin?" Jisoo menyilangkan tangan di depan dada, matanya menyala penuh kemarahan ketika menatap Hyunjin yang duduk lemas di tempat tidur rumah sakit. Tubuhnya baru saja dipindahkan ke ruang rawat inap setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, wajahnya pucat dan keringat dingin masih terlihat mengilap di pelipisnya. Napasnya masih terdengar berat, dan tangan kanannya gemetar saat menggenggam selimut, berusaha menahan rasa sakit yang terus menyiksa.

Hyunjin tidak menanggapi, hanya memalingkan wajah dengan tatapan kosong yang mengarah ke jendela. Seluruh tubuhnya terasa seperti ditarik ke dalam jurang kelelahan yang tak berujung, sementara detak jantungnya masih berdetak tidak teratur, memompa rasa nyeri ke setiap bagian tubuhnya.

Luka di lengannya yang didapat semalam dari pecahan kaca belum sepenuhnya kering, dan bekas darah kering terlihat diperban yang dipasang dengan tergesa-gesa oleh perawat sebelumnya.

"Dia cuma nggak berangkat selama satu hari. Apa masalahnya?" Suho menyela, berusaha meredam ketegangan dengan suaranya yang terdengar jengah. "Hyunjin bahkan nyaris nggak bisa berdiri. Kamu nggak bisa lihat?" lanjutnya, menatap istrinya dengan pandangan penuh keheranan, seolah tak percaya Jisoo masih mengurusi hal-hal sepele di tengah kondisi anaknya yang jelas sedang berjuang untuk tetap sadar.

"Kamu nggak dengerin aku waktu sarapan tadi? Kalau dibiarin, anak ini akan semakin menjadi-jadi," balas Jisoo tanpa mengubah ekspresinya. Nada suaranya terdengar tajam, seolah-olah ucapan itu adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Meski matanya sempat melirik ke arah Hyunjin, tidak ada sedikit pun kerisauan di sana.

Suho menghela napas berat, merasakan beban di pundaknya semakin berat. Dia menarik tangan Jisoo keluar dari ruangan dengan sedikit paksaan, berusaha menjauhkan mereka dari Hyunjin yang hanya bisa menahan sakit sendirian. "Kita bicarain ini di luar," desaknya, kemudian menutup pintu perlahan, meninggalkan Hyunjin sendirian dalam keheningan yang semakin pekat.

Hyunjin menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Tubuhnya terasa beku, bukan karena suhu ruangan yang dingin, tetapi karena luka yang menganga di hatinya. Dia menggenggam erat selimut itu, seolah hanya kain putih tipis itu yang bisa memberinya perlindungan dari semua rasa sakit dan ketidakpedulian yang mengelilinginya.

Di luar ruangan, Jisoo dan Suho berdiri berhadapan. Wajah Jisoo tampak tetap kaku, sementara mata Suho memancarkan kelelahan dan rasa frustasi.

"Apa yang membuat kamu begitu membenci Hyunjin?" Suho bertanya, suaranya penuh empati. "Nggak sepantasnya kamu bersikap kayak gini, apalagi di tengah kondisi Hyunjin sekarang ini,"

Jisoo menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Setiap kali melihat Hyunjin, dia selalu ngingetin aku tentang Jeongin," jawabnya, nada suaranya bergetar, penuh kepedihan yang tak terucapkan.

"Kamu harus bisa mengikhlaskan Jeongin. Sudah dua tahun sejak dia pergi. Jangan biarkan kemarahan kamu menyiksa Hyunjin juga. Kalau Jeongin melihat kamu kayak gini, aku yakin Jeongin pasti juga sedih." Suho mencoba membujuk, berharap Jisoo mempertimbangkan ucapannya.

Jisoo menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir. Rasa sakit di dalam hatinya semakin tak tertahankan setelah mendengar penuturan Suho.

Tiba-tiba, derap langkah terburu-buru terdengar, memecah keheningan. Jisoo menoleh, mendapati Jinyoung berlari menghampiri mereka, ekspresi cemas menghiasi wajahnya. Dia menghampiri pintu, namun Jisoo dengan cepat menghalanginya.

"Mau apa kamu?" tanyanya, nada suaranya tajam.

"Tentu saja mau ngelihat anakku," Jinyoung menjawab, suaranya penuh penegasan.

"Kamu masih menganggap dia anak kamu? Setelah membuang aku dan anak-anak begitu saja dua tahun yang lalu?" Jisoo membalas dengan ketidakpuasan, setiap kata yang terucap penuh luka.

Hug Me, Love Me || Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang