1.5

236 39 6
                                    


"Lo kemarin pergi ke mana?" Felix berusaha menyamakan langkah Hyunjin yang sangat terburu-buru. Untungnya, anak itu akhirnya berhenti di depan loker miliknya, tetapi tampaknya suasana hati Hyunjin sedang tidak baik.

Felix melanjutkan, "Gue juga ngeliat lo pergi naik mobil sama Ayah-"

Hyunjin membanting pintu lokernya dengan keras, membuat Felix terkejut sejenak. Suara pintu yang bergemuruh menggema di lorong sekolah.

"Lo yang ngasih tau Mama?" Tanya Hyunjin dengan tatapan kesal yang menyala, seolah siap meledak.

Felix mengangkat kedua tangannya, berusaha menjelaskan. "Mama keliatan khawatir. Gue juga nggak bisa diem aja, jadi gue ngasih tau Mama-"

"Khawatir apanya? Gue yakin kalau gue mati pun Mama nggak akan peduli!" Hyunjin memotong, suaranya meninggi, mengeluarkan semua emosi yang terpendam.

Felix menatapnya, kebingungan dan prihatin. "Hyunjin, gue cuma-"

"Lo nggak inget kejadian di gudang waktu itu?" Potong Hyunjin, suaranya tegas dan penuh emosi. Felix menggigit bibir bagian dalamnya, merasakan ketegangan yang menggantung di antara mereka. Mereka berdiri berhadapan, saling melempar tatapan tajam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Niat Felix baik, Hyun. Mau gimana pun di sini, posisinya lo yang salah." Minho tiba-tiba muncul, seolah menjadi pahlawan kesiangan. "Lo pergi sampai jam 10 malam tanpa ngabarin orang rumah sama sekali. Asal lo tau, Changbin sampai pergi ke sekolah lagi buat nyari lo, ngehubungin semua temen satu kelas lo juga. Lo juga seharusnya tau diri."

Hyunjin tetap diam, mengalihkan pandangannya dari Minho, seolah berusaha mengabaikan semua perkataan yang baru saja didengarnya. Ketegangan di antara mereka semakin mencengkeram saat sebuah telepon masuk, memecah suasana dan membawanya menjauh dari Minho dan Felix.

"Nanti ke rumah sakit. Kamu harus kemoterapi."

Hyunjin mengulum bibirnya, tidak langsung menjawab. Telepon masuk tadi berasal dari Jinyoung, dan pikirannya kini melayang kepada semua hal yang terjadi.

"Kenapa? Nggak mau? Kemarin kamu udah sepakat sama Ayah. Kalo kamu nggak mau ikut Ayah, setidaknya kamu harus kemoterapi," lanjut Jinyoung, suaranya sedikit menekan.

"Nggak gitu. Tapi kalo sepulang sekolah nanti, Hyunjin harus bimbel sama les piano. Kemarin Hyunjin udah nggak berangkat, kalo hari ini nggak berangkat lagi Mama pasti marah."

"Kamu nggak ngasih tau Mama perihal ini?" tanya Jinyoung, bingung dengan keputusan Hyunjin.

"Gimana caranya ngasih tau kalo sekadar ngeliat wajah Hyunjin aja Mama nggak mau?" jawab Hyunjin, suaranya penuh rasa frustrasi.

Helaan napas berat terdengar di seberang sana. Hyunjin pun menyenderkan punggungnya pada tembok di belakangnya, menundukkan kepala dengan rasa putus asa. Dalam pikirannya, ia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi apa yang akan datang.

"Kapan hari libur kamu?" tanya Jinyoung.

"Hari Sabtu pagi mungkin bisa. Kalo sore nggak bisa," jawab Hyunjin, suaranya terdengar sedikit ragu.

"Sabtu besok? Yaudah, kalo gitu nanti Ayah bakal bicarain ini sama dokter kamu. Jangan telat makan, tapi juga jangan makan sembarangan, nanti kamu-"

"Ayah." Potong Hyunjin.

"Ya?" Jinyoung menghentikan ucapannya, atas panggilan Hyunjin yang begitu tiba-tiba.

Hyunjin tersenyum sambil mengulum bibirnya, berusaha keras menahan emosi. Ia mendongakkan kepalanya, berjuang agar air matanya tak tumpah. Senyumnya, meski dipenuhi kepedihan, mencerminkan harapan yang masih ada dalam hatinya.

Hug Me, Love Me || Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang