Hyunjin berdiri di halte, menunggu bus yang akan membawanya ke sekolah. Ketika sebuah mobil dengan plat nomor yang sangat familiar berhenti di depannya, jantungnya berdebar, menciptakan rasa campur aduk dalam hatinya."Ayo masuk," suara tegas itu membuatnya tersentak. Jinyoung, ayahnya, tersenyum di balik kemudi.
"Ayah anter. Kebetulan Ayah juga ada acara, tempatnya ngelewatin sekolah kamu."
Mendengar kata-kata itu, Hyunjin merasa ragu. Kenangan indah dan pahit bersama ayahnya berputar dalam benaknya. Namun, rasa ingin tahu dan harapan mengalahkan keraguannya. Dia akhirnya melangkah masuk ke dalam mobil.
Ketika Jinyoung menyebutkan bahwa dia telah menyiapkan sarapan, hati Hyunjin terasa hangat. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Saat Hyunjin menyadari sesuatu, Jinyoung telah mengambil jalan yang jelas-jelas berlawanan dengan arah sekolah, rasa curiga dan marah mulai menguasai pikiran Hyunjin. "Ayah, ini bukan jalan ke sekolah," dia berusaha menegaskan, nada suaranya mulai tegang.
"Kenapa lewat sini? Ayah!" serunya lagi, mencoba menarik perhatian ayahnya yang tampak tenang.
Jinyoung tak menjawab, sementara Hyunjin terus saja mengoceh hingga mobil yang dikendarai Jinyoung terparkir di rumah sakit. Hyunjin mengeraskan rahangnya, merasakan sebuah pengkhianatan di dalam dirinya, seolah ditipu oleh sosok yang seharusnya melindunginya.
"Ayah terpaksa ngelakuin ini. Karena kalo nggak gini kamu nggak akan ke sini. Tapi tenang aja, Ayah bakal ngizinin kamu ke pihak sekolah."
"Hari ini ada ulangan," Hyunjin menjawab, suaranya bergetar, seolah segala yang dihadapi saat ini terlalu berat untuk ditanggung.
"Kamu masih mikirin hal sepele kayak gitu di saat udah tahu kondisi kamu? Kamu masih bisa ikut susulan." Jinyoung mencoba terdengar tenang, meski hatinya bergetar menghadapi ketegangan ini.
Hyunjin menghela napas gusar. "Mama juga nggak akan maafin Hyunjin kalo sampe ketahuan." Rasa takut itu merayap kembali, mengisi setiap sudut pikirannya.
"Kamu setakut itu sama Mama? Ayah mohon kali ini aja, kamu fokus sama penyembuhan kamu dulu." Jinyoung berusaha meyakinkan, suaranya lembut, berusaha merangkul anaknya dengan kata-kata.
Hyunjin menundukkan kepalanya, menggenggam tangannya sendiri dengan kuat seolah itu satu-satunya cara untuk menahan semua perasaan yang membebani dirinya. "Kemoterapi itu butuh kesiapan mental, dan Hyunjin takut," cecarnya pelan, suara yang nyaris tak terdengar, namun mampu melukai hati sang ayah.
Jinyoung tersenyum, seolah berusaha menghapus segala ketakutan yang menghantui anaknya. Senyumnya menyiratkan harapan, meskipun dalam hatinya dia merasakan beratnya keputusan ini. "Ayah akan menemani kamu sampe akhir," ujarnya dengan lembut, berusaha menguatkan Hyunjin.
Ketika Jinyoung keluar dari mobil, Hyunjin mengikutinya dari belakang, melangkah perlahan menuju pintu rumah sakit. Setiap langkah terasa berat, seolah setiap inci menuju tempat itu adalah beban yang harus dipikulnya. Perasaannya campur aduk, antara ketakutan dan harapan yang samar, namun dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.
Ruangan sudah disiapkan, dan Hyunjin bersiap untuk berganti pakaian, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang pesakitan, merasakan sensasi dingin dari sprei yang bersih. Tangannya sudah diinfus, sebuah selang kecil menempel di kulitnya, memberi tanda bahwa proses ini tak bisa dihindari.
Seorang perawat di sebelahnya sedang menyiapkan cairan kemoterapi, mengguncang botol dengan gerakan terampil. Hyunjin menelan ludah, merasa tidak nyaman dengan apa yang akan terjadi.
"Mungkin akan sedikit nggak nyaman," ucap Jinyoung pelan di sampingnya, suaranya lembut namun penuh keprihatinan. Ia mengusap rambut Hyunjin dengan lembut, berusaha memberi ketenangan di tengah ketidakpastian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hug Me, Love Me || Hwang Hyunjin
Fanfic⚠️ Brothership || Not BxB Dalam dunia yang berputar antara hidup dan mati, orang yang ditinggalkan adalah mereka yang paling menderita. Waktu terus melaju, seolah tak peduli dengan luka yang menganga di hati mereka yang tersisa, sementara mereka har...