Mengambil karier yang berbeda dari Sang Ayah, Harsa Anindya justru memilih STIN dibandingkan Akmil ataupun Akpol. Dan kini, sosok menggemaskan Acha sudah lenyap berganti menjadi seorang wanita tangguh seperti bunglon yang bisa dengan mudah menyaru...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hollaaaaaaaa Ikuti juga kisah Acha di KaryaKarsa dan KBM juga ya. Happy reading semuanya.
"Yang sabar ya Nak Harsa, percaya sama Allah walaupun menyakitkan ini yang terbaik buat kamu. Syukur Alhamdulilah Allah nunjukin buruknya sebelum kalian menikah. Allah benar-benar sayang sama kamu. Soal jodoh jangan khawatir, Allah pasti sudah menyiapkan jodoh terbaik buat kamu, orang baik akan ketemu orang baik juga disaat yang tepat."
Menghadapi pengkhianatan gila yang dilakukan oleh Naren dan Nadira aku tidak sanggup menceritakannya sekarang ini kepada Mami, sudah pasti Mami akan luar biasa bersedih dan syok saat tahu kelakuan anak yang dipungutnya, apalagi Mami adalah orang yang sangat membenci pengkhianatan, kisah kelam orangtuaku sebelum memilikiku terlalu pedih untuk sampai terulang denganku sebagai salah satu pemerannya.
Itu sebabnya aku tidak bisa pulang untuk mengadu pada Mami betapa hancurnya hatiku sekarang ini karena ulah anak asuhnya karena aduanku hanya akan semakin menghancurkan hati beliau. Alih-alih pulang ke rumah aku justru dibawa Arin ke rumahnya, dan saat aku tiba aku langsung disambut pelukan menenangkan dari Mamanya Arin, sosok berwajah teduh tersebut benar-benar memelukku seolah aku adalah anak beliau, tanganku di genggam dengan sangat erat saat beliau menasehatiku, menenangkanku agar aku tidak merasa rendah diri usai dikhianati dua orang yang paling aku percaya tidak akan pernah mengkhianatiku.
Nasihat Mamanya Arin seadem ubin masjid, tidak hanya menasehatiku, beliau pun menuntunku untuk masuk sarapan, mengambilkanku banyak makanan dan saat melihat wajahku tidak bersemangat untuk makan beliau menyuapiku, ya, aku disuapi oleh Mamanya Arin persis seperti anak kecil yang membuat Arin nyaris meledak dalam tawa, begitu pula adiknya Arin yang hendak kuliah, Andromeda, menertawakanku yang katanya lemah karena patah hati.
Tidak bisa aku gambarkan betapa bersyukurnya aku mengenal pacar Faisull ini, tidak heran Faisull mencintai Arin setengah mati jika bukan hanya Arinnya yang baik tapi juga seluruh keluarganya. Keluarga Arin memastikan aku benar-benar baik-baik saja, bahkan Mamanya Arin pun memastikan aku mandi dengan benar, kata beliau, mandi akan mengusir kesedihan lebih ampuh yang dari yang pernah kami perkirakan, dan siapa yang menyangka jika setelah perutku terisi dan tubuhku sudah bersih, suasana hatiku sudah jauh lebih baik.
Lubang menganga terbentuk dihatiku yang sebelumnya berisikan nama Narendra dan Nadira, rasa sakitnya membuatku sesak namun sudah tidak separah sebelumnya. Menangis tidak akan mengubah apapun, mempertanyakan apa kurangku kepada mereka adalah hal yang sia-sia, aku sudah berusaha menjadi tunangan dan saudara yang baik, pada akhirnya saat mereka melukaiku, merekalah yang rugi karena kehilanganku.
"Cha, gue mau berangkat dulu, lo tidur dulu aja disini."
Aku yang sudah selesai berganti pakaian mendapati Arin yang berpamitan. Sosoknya yang tadi pagi berpakaian ala kadarnya khas orang bangun pagi yang terburu-buru kini sudah berganti dengan sosok maskulin seorang Ipda Arin Pratiwi dalam balutan seragam polisi Lalulintasnya.
"Makasih ya, Rin. Gara-gara nolongin gue lo sampai terlambat ngantor. Nggak apa-apa ya gue istirahat istirahat sebentar lagi sebelum gue ngasih laporan formal ke calon suami lo."
Arin melambaikan tangannya, khas dirinya jika dia mengabaikan apa yang aku katakan. "Nggak usah sungkan, namanya calon Ibu Komandan, ya gue harus mengayomi anggota calon asuami gue dong. Take a time sebanyak yang lo butuh. Jangan sungkan buat makan atau tidur, anggap rumah sendiri."
Untuk terakhir kalinya sebelum Arin pergi, dia memelukku kembali, sungguh satu keluarga ini begitu hangat dengan sikap dan kalimat mereka. Aku tidak pernah menginginkan muluk-muluk, bayangan hubunganku dengan Nadira adalah seperti ini, saling memeluk, mendukung dan menyayangi, tapi rupanya kadang saudara bisa menjadi begitu jauh sedangkan orang lain justru yang menarik kita agar tidak terpuruk.
"Arinnya sudah berangkat dinas, Dek?"
Sapaan yang aku dapatkan dari belakangku membuatku menoleh, aku berniat untuk tidur tapi Papanya Arin, Bapak-Bapak pensiunan Kepala sekolah ini justru keluar menenteng keranjang buah diikuti dengan Mamanya Arin yang menenteng cobek dengan sambal rujak.
"Sudah Om....."
"Harsa, ayo ikut Om sama Tante ngerujak diluar, mumpung jambu-jambu Om pada matang!"
Random sekali keluarga Arin, bisa-bisanya ngerujak di jam 9.30 tapi tidak menolak, aku mengangguk mengikuti pasangan yang harmonis ini dan aku sama sekali tidak menyesal. Percayalah, hanya mengikuti mereka mengambil jambu kristal dan jambu air citra, tapi aku justru menemukan healing yang sebenarnya. Mendapati interaksi Papa dan Mamanya Arin saat mereka bekerja sama mencari buah sampai mereka tertawa bersama karena jambu yang luput dari tangkapan Mama Arin, rasanya menyenangkan sekali melihat mereka tertawa, sampai disaat mereka makan rujak bersama-sama dengan penuh nikmat, aku menyadari jika kebahagiaan orang yang berpasangan itu dimulai dari hal yang paling sederhana, bahkan rujakan pun bisa sangat menyenangkan.
Astaga, hanya melihat pasangan makan rujak tapi terlihat begitu romantis dimataku, efek patah hati memang aneh-aneh, dan lucunya aku seperti anak mereka yang tidak segan menerima suapan dari Mamanya Arin. Merasakan kehangatan keluarga Arin membuatku sedikit merasa bersalah pada Mami dan Papi, aku terlalu sibuk dengan ambisiku sendiri hingga aku tidak sempat untuk memerhatikan interaksi orangtuaku yang pasti sehangat mereka.
"Dek Harsa, jangan terlalu bersedih karena patah hati, ya." Ucapan dari Papanya Arin membuatku tersenyum, beliau mengulurkan satu potongan jambu yang sudah diberi sambal kepadaku yang aku sambut dengan penuh terimakasih. "Patah hati itu salah satu warna dalam hidup, sama kayak cabe di dalam rujak, bikin kepedasan tapi menyempurnakan rasanya yang beragam. Menikah itu seumur hidup jadi kamu perlu pria yang benar-benar mencintaimu, tidak apa gagal, nanti juga kita ketemu jodoh yang sebenarnya, yang akan mencintai kita dalam keadaan apapun, dan yang mau menerima kekurangan kita juga bukan cuma kelebihannya."
"Sama kayak Tante sama Om, kamu tahu Nak Harsa, Papanya Arin ini dulu sama sekali nggak suka jambu, nggak suka makan pedas, tapi demi Tante, Om-mu ini mau melakukannya biar bisa nemenin Tante rujakan. Pohon-pohon jambu ini adalah salah satu bukti bagaimana Papanya Arin mencintai Tante, sederhana, tapi saat kamu menemukan pasangan yang tepat, hidup kamu akan bahagia dengan hal-hal sederhana."