Setiap weekend sudah menjadi agenda wajib Shapta bersama sahabat-sahabatnya—Jovin, Wira dan Hanif— untuk bermain golf. Sabtu ini, mereka telah membuat janji bermain di Senayan National Golf Club.
"Lo jadi ambil tawaran promosi itu, Shap?" Tanya Hanif berdiri di samping Shapta yang tengah memperhatikan Jovin dan Wira mengambil giliran.
"Masih gue pikir-pikir dulu. It's a big deal, Nif." Ucap Shapta melirik Hanif
"Kalau kata gue, sih, ambil aja. Jangan suka raguin kemampuan lo lah. Orang kantor juga nggak asal rekomendasiin orang buat dikirim ke Headquarters."
Shapta hanya bergumam panjang sebagai balasan pembicaraannya dengan Hanif. Ia dan Hanif memang berada di satu kantor yang sama, tidak heran sahabatnya itu menanyakan hal itu padanya.
Kemarin pada saat selesai meeting seperti biasa, Shapta mendengar selentingan kabar bahwa Headquarters di London membutuhkan orang-orang baru dan ia menjadi satu-satunya kandidat yang diminta untuk mendapatkan promosi ke sana.
Bukannya tidak mau atau tidak senang mendengarnya, tapi Shapta pikir dengan tersebarnya kabar tersebut maka orang-orang di kantornya—mungkin beberapa yang tidak suka— akan membicarakannya. Apa lagi kalau bukan tentang dirinya anak Prambudi Adyadhana, salah satu petinggi perusahaan asuransi yang terkenal di Indonesia. Shapta sudah hafal betul persepsi orang-orang di luar sana, bahwa apapun yang ia dapat dan jalani sekarang ini tak jauh dari campur tangan sang Ayah. Padahal kenyataannya tidak sepenuhnya benar, ia memulai semuanya dari nol. Shapta tentu pernah melewati fase berada di jenjang karir terendah. Pembicaraan orang-orang tentang dirinya tersebut juga yang kemudian membuatnya malas untuk menampakkan diri ke publik, pikirnya percuma ia dikenal banyak orang tetapi nama besar Ayahnya selalu mengiringi."Emang kapan promosinya?" Tanya Hanif lagi merasa kepo melihat sahabatnya hanya diam saja.
"Masih akhir tahun ini gue denger-denger. Udah lah, Nif, nggak usah dibahas."
Hanif hanya mengangguk maklum, mengerti yang ada dipikiran Shapta sekarang.
Terlihat Jovin dan Wira menghampiri keduanya, sesi golf hari ini nampaknya sudah berakhir.
"Besok malam The H bisa lah?" Seloroh Jovin menatap ketiga sahabatnya bergantian.
"Senin ngantor dan malemnya mau teler? Gila."
"Yang sewajarnya aja, bro. Lagian kayak baru pertamakali minum aja dikit-dikit teler."
"Gue sih oke oke aja mumpung bisa pada kumpul. Shapta awas, ya, kalau lo mangkir lagi." tuduh Wira tiba-tiba langsung menunjuk Shapta tepat di depan wajahnya, ia paham betul kelakuan sahabatnya yang satu itu yang sangat susah jika diajak untuk sedikit 'bersenang-senang'.
Shapta memutar bola matanya malas dan berdecak menyingkirkan tangan Wira, "Iya gue ikut. Reservasi deh gue yang bayar."
Terlihat Wira, Hanif dan Jovin bersorak senang mendengar ucapan Shapta barusan. Tidak ada salahnya ia menghabiskan uang sebanyak dua digit dalam satu malam 'kan? Lagi pula ia jarang-jarang melakukan ini bersama sahabat-sahabatnya, mengingat mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Apalagi Wira yang yang setiap minggu bisa dua sampai tiga kali bolak balik Jakarta - Singapura.
.....
"Janitra, sini. Mama mau ngobrol sama kamu."
Langkah Janitra terhenti di undakan pertama tangga rumahnya menuju lantai atas dimana kamarnya berada. Setelah menyelesaikan makan malam bersama Papa dan Mama seperti biasa Janitra akan langsung kembali ke kamarnya jika tidak ada jadwal lain yang mengharuskannya keluar rumah.