"Mas? You okay?"
Janitra menghampiri Shapta yang terlihat terpekur memikirkan sesuatu, masih di posisinya terduduk di atas sofa dengan handphone di tangan pria itu yang layarnya sudah mati.
"Jan." seakan tersadar seseorang mengambil duduk di sampingnya, segera Shapta kembali mengantongi benda pipih di tangannya dan meraih sebuah gelas yang disodorkan oleh Janitra berisi coklat panas yang dapat Shapta hirup aromanya.
Shapta menyesap perlahan minumannya, dari ujung gelas melirik Janitra yang tidak juga berhenti menatapnya. Mendadak suasana canggung menyelimuti keduanya. Shapta meletakkan gelas itu di atas meja. Hatinya tentu saja tidak tenang, ada seseorang yang dibawa Ibunya ke rumah dan itu bukan pertanda baik. Shapta bergerak gelisah di tempatnya, seolah kenyamanan untuk tinggal lebih lama di apartement Janitra dan menagih jawab wanita itu tidak lagi membuatnya antusias. Pikirannya ke mana-mana dan dengan menatap mata indah Janitra membuatnya meringis dalam hati.
"A-aku harus pergi.. Mau ke rumah Ibu, Jan." kata Shapta meraih gym bag miliknya bersiap untuk berdiri.
"Ada yang urgent, Mas?" mata Janitra berpendar khawatir mendongak menatap Shapta yang sudah berdiri. Janitra ikut berdiri ketika pria di hadapannya melangkah ke arah pintu apartementnya. Benar-benar akan meninggalkannya.
"Nope, Ibu sama Ayah ngundang aku sama Mbak Ira buat makan malam." Shapta mengukir senyumnya mengakhir kata-kata bohongnya.
"oh..." Janitra menganggukkan kepalanya, membantu Shapta membukakan pintu ketika keduanya melewati sebuah foyer penghubung ruang utama apartement dan pintu. "Hati-hati, Mas. Salam buat Ibu sama Ayah." ucap Janitra dan tersenyum tulus. Hatinya setengah melepas pria itu.
"Terimakasih tumpangannya, Janitra. Nanti aku kabarin kalau udah sampai di sana."
"Mas.."
Shapta yang sudah berniat untuk berlalu menyusuri lorong apartement menghentikan langkahnya dan berbalik menatap sosok Janitra yang masih menahan pintu berdiri dengan piyama satinnya.
"Kenapa?"
Janitra mengulum bibirnya sejenak sebelum memejamkan mata seolah menepis sesuatu yang melintas di otaknya. Buru-buru ia menggeleng dan memasang senyum masam bersiap untuk menutup pintu apartementnya.
Belum sempat mengatakan sesuatu, Shapta menghela nafas ketika pintu itu tertutup begitu saja. Menelan sosok Janitra di baliknya.
....
Porche 911 Turbo S terparkir di carport sebuah rumah mewah bergaya eropa klasik. Mesin mobilnya sudah mati, namun Shapta masih memilih diam di dalam mobilnya membiarkan kepalanya berisik dipenuhi sesuatu. Ekor matanya melirik sebuah Audi yang terparkir tepat di sebelah mobilnya, bukan sejenis mobil koleksi Ayahnya atau pun tipe mobil kesukaan Mbak Shakira. Shapta tahu persis siapa pemilik Audi itu, bukan anggota keluarganya tentu saja. Shapta mengumpat dalam hati menyadari berarti 'orang itu' benar-benar datang ke rumahnya sejak sore tadi dan belum juga pulang.
Shapta sendiri yang membawa dirinya ke kediaman orang tuanya, padahal ia tahu persis sang Ibu tidak mengirimkannya pesan ataupun telfon seperti yang kakaknya duga dalam pesan yang dikirimkan untuknya. Lalu untuk apa dia sukarela ke sini dan meninggalkan Janitra?
Apakah logikanya sudah kalah dengan hati yang menyiksanya untuk melihat sosok 'orang itu' yang sudah sangat lama tak ia lihat?
Dengan pakaian santai— T-shirt hitam dan Short Sweatpants dengan warna senada membungkus tungkainya— yang ia pakai dari apartement Janitra, Shapta melangkahkan kakinya menapaki undakan tangga dengan lantai marmer untuk meraih pintu utama rumah itu. Tanpa perlu repot-repot mengetuk ataupun memencet bel, Shapta mendorong daun pintu besar bercat putih tulang itu membawa dirinya masuk ke rumah tempat ia menghabiskan masa kecilnya.
