"Oke, Mel. Gue ke sana sekarang, ya. Give me sixty minutes. Keburu, kan?"
Janitra benar-benar dilanda kepanikan pagi-pagi buta, lupa memasang alarm sebelum terlelap tadi malam membuat wanita 32 Tahun itu kelimpungan mempersiapkan barang-barang bawaannya untuk jadwal pemotretan sebuah majalah pagi ini. Asistennya—Amel— yang sudah bekerja dengannya dua tahun belakangan ini tidak kalah paniknya ketika Jani baru bisa mengangkat telfonnya yang ke-delapan kali.
"Harusnya dapet, sih, masih jam segini." Janitra melirik apple watch yang melingkari pergelangan tangannya yang sedang mengendalikan kemudi. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Sekarang pukul 7.30 sedangkan jadwal pemotretannya pukul 9.00. Masih banyak waktu pikirnya. Ya, jika tidak ada halangan.
"Lah? Kenapa, nih?"
Mobilnya tiba-tiba terasa susah dikendalikan, untung saja Janitra masih sempat menepikan mobilnya ke bahu jalan ditengah-tengah ramainya jalanan ibu kota di pagi hari.
Dengan perasaan gusar Janitra keluar dari mobilnya, membiarkan deru mesin yang masih menyala. Janitra berjongkok di dekat ban mobilnya bagian depan dan berdecak sebal ketika mendapati ban mobilnya pecah.
"Perasaan gue udah nggak enak dari pagi. Kenapa harus sekarang, sih?" Rutuknya mengambil Handphone yang ia letakkan di jok kemudi, mencoba menghubungi Amel ingin mengabari asistennya itu kalau ia sedang terkendala dalam perjalanan menuju lokasi.
"Mobilnya kenapa, Mbak?"
Janitra kaget bukan main ketika sebuah suara mengalun tepat dekat di telinganya, ia menoleh ke samping mendapati seorang pria bertubuh tegap dengan setelan kerja lengkap yang Janitra tahu harganya pasti sampai puluhan juta. Sibuk menelfon asistennya sampai Janitra tidak menyadari kalau pria di sampingnya sekarang ini ternyata juga ikut menepikan mobilnya tepat di depan mobil Janitra. Mercy AMG SL-63 4Matic+.
"Wow!" Dalam hati Janitra berdecak kagum menyadari bahwa pria dihadapannya pasti berasal dari kalangan borjuis yang sama seperti keluarganya.
"Ini bannya pecah, deh, kayaknya." ucap Janitra meringis menatap nanar ke arah ban mobilnya yang sudah tidak berangin tersebut.
Tidak merespon ucapan Janitra barusan, pria itu terlihat mengeluarkan handphone dari saku jasnya dan menelfon seseorang, "Halo, Jov. Sorry gue ganggu pagi-pagi. Bisa kirim anggota lo nggak? Ada pasien ini... bukan mobil gue....ya adalah, kepo banget. Cepetan gue tunggu sekarang, ya. Deket kantor gue... Oke, bro. Thanks ya."
Janitra masih terdiam ketika laki-laki di hadapannya selesai menelfon. Apakah baru saja ia mendapat pertolongan?
"Udah saya hubungin orang bengkel, Mbak. Setengah jam lagi kayaknya sampai. Mobilnya nanti dibawa sama mereka dulu, nggak apa-apa, kan, Mbak?" Ucapnya menatap Janitra lurus, seolah menjawab pertanyaan dalam benak wanita itu.
"Oh? Iya, Mas. Jadi ngerepotin masnya lagi." Janitra bersandar pada sisi kiri mobilnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menatap pria dewasa yang bisa dibilang tampan? di hadapannya, Janitra membatin kemana saja ia sehingga baru melihat wajah rupawan ini selama 32 Tahun ia hidup di dunia.
"Emang tadi sebelum berangkat mobilnya nggak dicek dulu, ya?"
Ucapan pria itu menyadarkan Janitra dari lamunannya, ia berdehem canggung dan mengulas senyum sungkan, "Saya cuma pakai aja mobilnya, Mas. Sibuk juga, mana sempet mau cek-cek segala macem. Asal masih bisa dipakai aman-aman aja, kok."
Pria di hadapannya tertawa pelan,
"Uh? Manis banget?"
"Sayang banget ini mobilnya cakep tapi jarang maintenence. Semoga lain kali nggak kejadian lagi, ya, Mbak."
