Panggilan Kerja

378 91 4
                                    

Nadia mengembuskan napas dalam mulai dari mana ia bercerita tentang tragedi semalam, malu, tak enak hati untuk menghadapi sahabatnya yang tengah sibuk di dapur. Ini salahnya harusnya ia tak terlalu gegabah. Tapi apa daya ia sedang mengalami putus cinta.  Nadia terdiam sembari memainkan ponselnya, ada banyak pesan dan telepon salah satunya dari Nayara. Nayara mengkhawatirkan dirinya, ia sempat menelepon Nayara semalam dan meminta perempuan itu menjemputnya. Dia sadar dan namun kepalanya sakit akibat ia minum dengan jumlah yang cukup banyak.

"Jadi semalam kenapa deh?" Nayara memberikan satu gelas air teh hangat untuk Nadia. 

Nadia menggeleng lemah.

"Yang jujur ah, kita temanan berapa lama sih?"

"Jangan judge aku?" Tatapan Nadia memohon.

Nayara mengangguk. "Nggak."

"Janji?" Nadia menyodorkan jemari manisnya, meminta Nayara menautkan jemari manis juga.

Nayara menuruti. "Iya. Ayo cerita." Suruh Nayara. Ia sudah tak sabar mendengar langsung dari mulut perempuan itu.

Namun obrolan mereka terpaksa berhenti sejenak, gadis kecil berlari ke arah keduanya.

"Tante Nanad kenapa ya?" Raut wajah polos mentari bertanya-tanya, apalagi Nadia memakai piyami Nayara.

"Tante Nanad sakit ya?"

Nadia terkekeh. Ia mengusap rambut Mentari yang sudah rapi.

"Tante Nanad jangan berantakin rambut aku!" Mentari protes sembari melepaskan tangan Nadia.

"Habisnya Tari lucu. Tante Nanad nggak sakit. Tante cuman baru bangun tidur."

Mentar mengangguk-anggguk. Sayang ia tidak bisa berlama-lama. Mentari mulai berpamitan. "Mama, Tante see you..." pamit Mentari setelah menyalami keduanya.

Nayara tak lupa mencium seluruh wajah Mentari, tentu selalu mendapat protes karena katanya Mentari sudah rapi. Nayara tertawa melihat tingkah semata wayangnya.

"Sekolah yang rajin ya, Nak. Ucap Nayara pada Mentari.

"Iya Mama..." balasnya

Nayara tak lupa memperingati Mbak Ayi yang sudah membantu mengurus Mentari. "Hati-hati ya, Mbak jangan ngebut."

"Siap Buk!" Balas Mbak Ayi

Ayi adalah pekerjanya yang membantu mengurus Mentari karena ia harus mencari uang. Sementara Nadia adalah teman kecilnya.
Kembali ke topik Nadia semalam. Setelah Mentari pergi ia meminta penjelasan selanjutnya. Kalimat pertama yang ia dengar adalah perselingkuhan. Memuakkan!

"Sinting si Djavas!" Nayara memaki.

"Dia nggak jelasin kenapa, tapi dia bilang aku terlalu sibuk akhir-akhir ini. Bukankah ilmu dasar hubungan itu komunikasi ya?"

Nayara mengangguk. "Kaya kalian hidup dijaman purba, kalau memang ada yang mengganjal harusnya komunikasi. Djavas brengsek!" Maki Nayara lagi.

"Dia nelepon katanya kita udahan aja. Segampang itu?!"

"Ih, dasar keparat! Cowok di mana saja itu sama ternyata. Awas aja si Djavas ini kalau ketemu aku hajar." Emosinya meletup-letup. Nayara benar-benar emosi dengan Djavas— kekasih sahabatnya itu.

"Alergiku kambuh, lihat leherku merah-merah begini. Ditambah Djavas, rasanya mau mati aja." Nadia tak bisa menahan tangisnya.

Nayara segera memeluk sahabatnya. Tapi sebentar, ia teringat sesuatu. Leher merah karena alergi bukan karena semalam dijamah. Nayara menelan saliva yang tampak perit dan kesat. Sepertinya ia salah paham.

BloomingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang