Siapa Tersangkanya?

282 79 7
                                    

"Pulang Nay?"

Nayara menoleh karena merasa namanya dipanggil, ada Mbak Anisa salah satu tim keuangan di kantor ini. Mereka berkenalan beberapa jam yang lalu. Kecuali bosnya yang sifatnya sulit ditebak, tapi semua teman-teman satu kerjanya sangat baik. Lingkungannya aman untuk dirinya dihari pertama.

"Ah, iya Mbak. Ini mau pulang."

"Ayo bareng. Gimana hari pertama bekerja? Aman?"

Nayara mengangguk. "Aman Mbak. Kebetulan saya bawa motor Mbak. Cuman harus banyak belajar aja."

"Maksud Mbak, ayo, bareng jalan keluarnya. Nggak apa-apa pelan aja. Baru hari pertama juga kan? Kalau Pak bos komplain dengerin dan pelajarin ya, ilmu dia juga mahal." Ucapnya sembari terkekeh.

Nayara mengangguk canggung. Ia pikir mau pulang bersama dalam satu kendaran. Obrolan mereka berakhir karena mbak Anisa sudah dijemput suaminya sementara ia akan pulang sendiri naik motor.

"Nayara, Nayara tunggu..." teriak seseorang dari ujung sana.

Pria itu berlari ke arahnya membuat Nayara segera menghentikannya. "Pak jangan lari-lari, hati-hati Pak." Nayara memperingati. Pasalnya bosnya berlari dalam keadaan kaki yang belum sembuh.

"Kamu sudah mau balik ya?"

"Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Nayara

"Ikut ke ruangan saya. Ada pekerjaan yang harus kamu selesaikan. Sebentar saja kok." Ucapnya

Nayara mengangguk meski terpaksa. Barangkali memang pekerjaannya bersifat darurat. Mereka kembali masuk ke kantor dan Nayara masih mengkhawatirkan kaki bosnya.

"Pak nggak mau pakai kursi roda aja?"

"Kamu pikir saya kakek-kakek?"

Nayara terdiam. Emangnya lansia saja ya, yang naik kursi roda. "Gunanya kursi roda kan nggak hanya untuk lansia Pak."

"Oh iya, memang. Tidak perlu. Saya masih bisa jalan. Tolong, bantu saya membuka ruangan." Regan memberikan kunci ruangan yang sudah dikunci.

"Baik Pak." Balasnya

Ruangan Regan sangat gelap. Nayara menyalakan lampunya lalu Regan kembali duduk, ia sebenarnya tidak tega dengan bosnya yang kakinya belum juga sembuh. Belum sempat ia duduk ponselnya berdering, ada nama Mentari. Ia belum langsung mengangkatnya tidak mungkin kan mengangkat telepon di depan bosnya.

Nada dering ponsel Nayara begitu nyaring membuat Regan menyuruh Nayara segera
Mengangkatnya, apalagi sudah menelepon dua kali. Artinya darurat. "Angkat saja dulu Nay," suruh Regan

"Iya Pak." Ia sedikit gugup. Mentari pasti mencarinya karena ia pulang lebih lambat tapi ia tak mungkin berbicara di depan bosnya, "Pak saya keluar sebentar." Pamit Nayara

Regan mengiakan. Meski ia penasaran kenapa harus di luar ruangan. Ah, tapi mungkin Nayara butuh ruang dan privasi barangkali segelintir pembicaraan bersifat privasi.

Sementara Nayara melihat kedua arah yang berbeda memastikan dirinya aman. Ia takut ada yang mendengar percakapan dirinya. Ia deg-degan setengah mati.

"Halo, Tari..." sapa Nayara

"Mama kapan pulang ya, kata Mbak Ayi pulang malam? Ih, Mama kok pulang malam lagi. Tari mau makan malam bareng Mama." Ucapnya

Nayara menghela napas sejenak. "Iya, Mama minta maaf ya, hari ini Mama pulang telat." Suaranya sangat kecil ia cemas ada yg mendengar.

"Kan Mama nggak kerja di tempat om Wili kok tetap lama?"

"Iya Nak, hari ini kerjaan Mama sampai malam. Kalau sudah beres Mama langsung pulang, jadi Tari makan malam sendiri dulu ya." Nayara mencoba memberi pengertian.

BloomingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang