8. Tidak Ada Kata Cerai

167 12 9
                                    

King itu serba cepat. Apa-apa seperti kilat. Bahkan ketika Mina lama berkemas, langsung digendong ala karung beras.

“King!” Mina tidak berniat protes, cuma memanggil karena kesal.

“Kita bisa ketinggalan pesawat.” Santai King membawa Mina masuk bandara. Kali ini diubahnya posisi. Menggendong seperti bayi.

Semua mata memandangi mereka. Bahkan kalimat-kalimat berlebihan mengatai, menyindir dan mengejek Mina serta King silih berganti terdengar.

“Mereka tidak tahu saja siapa kau sebenarnya. Kalau tahu, kuyakin tidak ada yang berani buka mulut untuk berkomentar tentang apa yang kau lakukan.”

King terkekeh pelan. Suasana hatinya tidak pernah setenang dan sedamai ini. Nyaman, menyenangkan. Berkat Mina? Coba tebak.

Dikecupnya puncak kepala Mina. Diendusi aroma shampo-nya.

“Saat keramas tadi aku pakai shampo-mu,” jelas Mina karena sadar sedang diendusi.

“Bahkan kau boleh pakai celana dalamku.” King meraba Mina, dicubit, tapi tetap dipaksa tangannya masuk ke balik kaos longgar si istri cuma untuk mengusap perut Mina. Sempat-sempatnya.

“Aku tidak mungkin hamil secepat itu, King.” Mina mendesis, geram sambil tetap mencubit-cubit tangan King yang berada di balik kaosnya.

“Hahaha!” King terbahak. Menurunkan dari gendongan, lalu melingkarkan satu lengan di pinggang Mina.

“Sebentar lagi kakiku sembuh. Biarkan aku jalan sendiri.”

“Orang-orang akan menertawaimu,” bisik King.

“Karena jalanku yang agak pincang?”

“Karena cara berjalanmu memperlihatkan bahwa kau baru saja digempur dengan brutal oleh rudal—”

“Diam, King!” Mina membekap mulut suaminya yang memberitahunya dengan suara keras.

Telapak tangan Mina yang membekap mulut King dijilati olehnya. Sukses membuat Mina tidak mau peduli lagi apa pun yang dilakukan suami keduanya itu setelah ini.

“Ngomong-ngomong, King. Meski sudah kau beritahu, seharusnya Red menghubungiku juga untuk mempertanyakan sesuatu yang penting seperti pembagian waktu atau—”

“Sebelum bertanya sudah kutegaskan padanya.”

Mina sudah pasti khawatir. King kan memang tidak waras. “Apa yang kau tegaskan padanya?”

“Bergiliran. Seminggu sekali.”

Apa? “Kau menjadikanku sebagai piala bergilir, ya? Sungguh tak punya otak.”

“Otak? Bukannya hati?” King menggelitik Mina. Menyeret tubuh ramping itu agar segera ke tempat duduk mereka.

“Sejak pertama kali bertemu denganmu, aku langsung tahu kau pria yang tak punya hati nurani.” Mina menekan-nekan ujung jari telunjuknya tepat di dada King, tidak lupa melebarkan mata—melotot kesal.

Senyum King mengembang, ditangkapnya pergelangan Mina, lalu diambil tangan itu untuk digigit lembut jari-jari istrinya. “Aku akan sangat suka kalau anak perempuan kita mirip denganmu. Mewarisi seluruh sifatmu.”

“Beri aku alasan lagi, King. Kenapa kita harus menikah?” Mina serius. Menahan kegiatan King yang begitu menikmati jari-jarinya.

“Karena aku ingin menikah.” Semudah itu jawabannya.

Mina memalingkan wajah keluar jendela, melihat kumpulan awan. Tidak sudi bertanya lagi, daripada meludahi King yang pasti cuma terkekeh saja tanggapannya.

𝐌𝐚𝐤𝐞 𝐘𝐨𝐮 𝐌𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang