32. Bersamaku Sampai Mati

44 7 1
                                    

Mengulum senyum, Mina membelai wajah yang menurutnya tampan rupawan itu dengan penuh kasih sayang. “Maafkan aku. Apa kabarmu selama sepekan ini, Sayang?”

Spontan berekspresi seperti merajuk, Red mengeluh. “Buruk. Sepekan ini aku terus merindukanmu sambil berusaha keras menahan diri.”

Padahal beberapa hari lalu, mereka sempat bertemu di pembukaan yayasan Blackwood. Walau cuma perjumpaan singkat, tetap saja bukan sama sekali tidak bertemu. Bahkan kerap berkomunikasi lewat pesan atau telepon dalam minggu ini. Berlebihan sekali orang yang sedang dimabuk cinta.

“Sekarang kau tidak perlu menahannya lagi.” Mina memeluk Red, namun matanya mengarah ke paviliun yang tepat berada di belakang Red saat ini. Serius, hatinya gelisah. Mencemaskan Zara. Lebih tepatnya, pada calon bayi yang dia titipkan ke rahim wanita yang pernah berbuat buruk padanya itu.

“Ayo, masuk. Sudah kusiapkan air hangat untukmu. Kita berendam dulu sebelum kau pergi ke paviliun. Bagaimana?” Red menyadari bahwa kini dia punya saingan. Harus bisa menahan segala perasaan agar tidak cemburu.

Mina mengangguk, melingkari pinggang Red dari samping, sambil terus berjalan masuk.

“Jangan lakukan apa pun. Biar aku yang melepaskan pakaianmu.” Red menahan langkah Mina yang bersiap memasuki kamar mandi.

“Wah, aku diratukan olehmu hari ini,” decak bahagia Mina tidak dibuat-buat. Tulus menyayangi si suami pertama.

Sebenarnya, Mina berharap mereka segera berendam, sebelum lelahnya melampaui batas dan batal ke paviliun. Tidak, tidak bisa. Red memperlambat tiap gerakan. Mulai dari saat melepaskan pakaiannya, sampai ketika harus ada ciuman dulu sebelum mereka masuk bathtub bersama.

Menguatkan diri, Mina berharap dia tidak tertidur selagi berendam. Itulah kenapa terus mengajak Red bicara selama si suami sibuk memberikannya banyak pijatan menenangkan di sekujur tubuh.

“Adikmu akan segera lahir. Kau tahu soal itu?”

Tidak mau tersulut emosi, Red mengangguk. Lagipula, kenapa harus marah? Bayi yang akan dilahirkan Indila tidak bersalah. Bahkan si calon adik adalah saudara sedarah dengannya dan King.

“Pekan depan adalah hari pernikahan ayah dan Indila.” Mina menambahkan, ketika rasanya ingin sekali menguap lebar-lebar. Kantuk pasti akan segera datang.

“Aku juga tahu soal itu.”

“Kita diundang?” Basa-basi, sebenarnya. Mina tidak berharap apa pun. Karena King sepertinya tidak sempat membicarakan perihal undangan pernikahan Logan pada Mina.

“Sudah pasti. Tidak terkecuali ibu.”

“Apa aku terlalu ikut campur?” Mina merasa tidak enak hati. Terlambat memang, tapi setidaknya dia perlu minta maaf.

“Kau bagian dari Blackwood. Kau istriku, ibu dari calon anakku, menantu ayah ibuku. Kau boleh mencampuri apa pun urusanku.” Memberi penjelasan yang begitu serius, Red sampai baru sadar kalau ternyata dia mampu bicara semanis itu.

“Terima kasih, Sayang. Tapi aku tetap minta maaf karena mungkin bertanya di momen yang kurang tepat.”

“Tiap kali merasa bersalah padaku, lebih baik kau hadiahi ciuman daripada permintaan maaf.”

Setelah tertawa, Mina mengangguk, mendekatkan wajahnya pada si suami. “Ide bagus.”

Red begitu menikmati ciuman dari Mina. Awalnya tidak dibalas, namun ketika mendapat celah yang tepat, langsung diterkam.

Tidak bisa melanjutkan lebih jauh lagi, Mina menekan kedua telapak tangannya di dada Red, di bawah air. Napasnya sudah terengah-engah.

“Sayang?” Red menundukkan tatapan, mencuri lihat ekspresi Mina yang tampak kelelahan. “Kau tidak apa-apa? Ada yang salah?”

Mina menggeleng pelan. “Aku tidak apa-apa. Cuma rasanya agak pengap. Suhu airnya mungkin kurang tepat untukku.”

“Apa kita masuk saja?”

Mina angguk-angguk, bersamaan langsung dengan Red yang membantunya keluar dari bathtub.

“Selesai berpakaian, boleh aku ke paviliun?” Mina membiarkan Red memakaikan bathrobe putih salju ke tubuhnya.

“Dia baik-baik saja.”

Mina tertawa pelan, mengulurkan tangan untuk mencubit pinggang Red. Membiarkan suaminya itu tersentak dan mengernyit menatapnya.

“Kau ingat ucapanmu sebelum kita berendam tadi?”

“Ah, kukira kau sudah melupakannya.” Red merasa konyol. Mana mungkin Mina melupakan apa yang menjadi tujuan utama si istri. Bahkan dia memprediksi kalau Mina sebenarnya lebih antusias pulang ke rumahnya untuk melihat calon anak mereka, daripada bertemu dengannya.

Mina mulai berpakaian. Rasanya tidak sabar. “Apa Zara masih mual dan muntah?”

Red tidak ingat. Padahal terakhir kali, ketika Zara mual dan muntah dia ada di bersamanya. “Sudah berkurang.” Dan dia bergumam untuk dirinya sendiri. “Sepertinya.”

“Apa?” Mina menatap Red dari cermin, selagi menyisir rambut.

“Mual muntahnya sudah berkurang,” ulang Red. Menahan rasa malasnya jika harus terus menerus membicarakan Zara selagi mereka bersama. Namun sebelum Mina merasa kecewa padanya, ada baiknya dia berterus terang sekarang. “Zara tidak lagi ditemani pelayan.”

Mina langsung balik badan. “Kenapa? Zara merasa tidak nyaman?”

“Para pelayan itu tidak bekerja dengan baik. Jadi kupecat saja mereka.” Red bingung kenapa akhirnya tidak berkata jujur.

“Jadi sekarang Zara sendirian?” Mina tercengang.

Red mengangguk. “Mungkin untuk sementara—”

“Aku akan tidur bersama Zara malam ini.” Cepat Mina mengambil cardigan hitam dari gantungan, keluar dari kamar tanpa mengajak Red. Setengah berlari menuju paviliun.

“Sayang!” Red menyusul.

Mina berhenti. Bentuk menghargai Red yang belakangan ini sudah jauh lebih baik. Sangat peka, lembut dan tulus. Mina Enggan menyakiti pria itu. “Kau ingin melarangku?”

Ditanyai begitu, Red malah menjadi ciut. Merasa kalah melebihi yang pernah dirasakannya saat menghadapi lawan dan para musuh. “Tidak, bukan begitu. Aku ....”

Mina begitu senang pada perubahan Red yang makin hari, makin menunjukkan sisi wibawa sebagai seorang ayah. Penilaian matanya begitu. “Kau boleh ikut kalau mau. Kita bisa bergantian menjaga Zara.”

Red menghela napas. Mengangguk, kalah dan tidak mau mendebat Mina lagi untuk apa pun yang si istri ingin lakukan.

***

Sepekan di rumah Red, Mina dan si suami pertama malah lebih sering menghabiskan waktu di paviliun. Sesuai ancaman Red, Zara menutup mulutnya rapat-rapat. Bahkan menahan keinginan untuk melempari Mina dan Red yang terkadang tertangkap mata sedang bermesraan.

Malam terakhir, beberapa jam sebelum King menjemput, Red menyempatkan diri merayu Mina untuk bercinta di dapur. Yap, mereka melakukannya. Bergerak tanpa ampun. Di atas meja dapur yang atasnya telah dikosongkan, di samping lemari es, dan di sudut dapur.

“Terima kasih, Sayang. Kau selalu luar biasa.” Red menciumi seluruh wajah Mina yang berkeringat.

“Hei, aku berkeringat banyak.” Mina agak panik karena merasa keringatnya tidak untuk dirasai oleh Red.

“Jangan cemaskan itu.” Satu kecupan didaratkan kembali. Di kening. Red juga menahan Mina di sana lewat ciuman super lembut menenangkan itu. “Tetaplah bersamaku. Sampai mati.”

Tidak tahu harus menjawab apa, Mina mendadak memeluk Red dengan begitu eratnya. Dadanya seakan mengeluarkan suara gemuruh hebat yang tidak bisa dia artikan maksudnya.

Bunyi klakson mobil dua kali terdengar dari luar. Tepat di depan paviliun.

King! Mina spontan melepas pelukannya dari Red. Ditatapnya si suami lekat-lekat. “Apa sudah waktunya kita berpisah?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐌𝐚𝐤𝐞 𝐘𝐨𝐮 𝐌𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang