19. Dia Selalu Benar

66 8 1
                                    

Karena ucapan King benar, Red diam saja. Melihat pelipis Mina yang berdarah, membuatnya emosi seketika.

“Kita pulang, Sayang. Lukamu harus diobati.” Red memeluk pinggang Mina yang sedari tadi diam. Si istri sepertinya masih shock.

“Kalau kau sudah tahu siapa yang mempekerjakan Mina, sebaiknya kau periksa latar belakangnya lebih dulu. Dia ada kaitannya dengan penculikan Mina tempo hari.”

“Apa?” Red menegang karena marah. Dia tahu siapa Austin, kenal Zara sebagai istri si pemilik galeri. Tapi tidak pernah tahu kalau Austin ada hubungannya dengan peristiwa penculikan Mina. Lagi, dia terlambat beberapa langkah. Padahal jelas dia-lah yang memeriksa lebih dulu siapa Austin dan istrinya sebelum membiarkan Mina bekerja di Zara art Galery.

“Pergunakan kekuasaan yang kau punya. Kenapa begitu sulit bagimu menemukan yang jelas ada di depan matamu? Kau membuatku malu. Percuma menyandang nama belakang Blackwood.” Emosi King agak terasa kali ini. Banyak yang menjadi pemicunya. Salah satunya aksi Zara yang melayangkan tas ke wajah istrinya.

King sudah pergi begitu Mina diajak melangkah bersama Red. Segala kenormalan yang diinginkannya ada dalam kesehariannya perlahan lenyap, ketika peristiwa di ruangan berlantai kaca dengan hiu putih di bawah kakinya kembali melintas di benaknya.

***

Beristirahat di rumah sendirian, Mina mengerti kenapa Red pamit padanya untuk pergi mengurus sesuatu. Dia paham kalau Red terpicu oleh perkataan King. Tentang ketidakbecusan yang membuat harga diri seorang Red terguncang.

Baru beberapa waktu lalu Red mengubah sistem keamanan di rumahnya menjadi lebih canggih dari sebelumnya. Mina pikir, pasti sulit ditembus. Namun lain ceritanya kalau ada penyusup ahli yang mampu mengacaukan sistem agar bisa masuk.

Seperti sekarang. Mina curiga ada seseorang yang mencoba masuk seperti pencuri. Sempat terpikir kalau itu King, namun tidak mungkin butuh waktu lama bagi King untuk berada di dalam rumah adiknya.

Mina berjinjit dari ruang makan menuju ruang tengah. Sudah ada pistol dalam genggamannya. Suara peringatan terdengar dari arah samping depan. Bukan alarm, tapi cuma nada serupa yang seperti hanya ‘biip’ beberapa kali.

Nyeri di pelipisnya makin berdenyut. Mengernyit sekilas, Mina menggeleng pelan untuk mengusir rasa sakitnya.

Sekilas bayangan melewati jendela kaca besar ruang tamu. Debar jantung Mina makin kencang ketika hawa lain terasa menyatu dengan atmosfer ruang tamu. Di luar memang sudah gelap. Penerangan otomatis menyala di kediaman Red jika hari telah tidak lagi tersinari cahaya matahari. Namun sekarang tidak begitu. Si penyusup sepertinya mengacaukan sistem canggih milik Red.

Tidak ada suara langkah, tidak terlihat lagi pergerakan, Mina tetap menunggu. Seperti dihantui oleh sesuatu yang tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan, Mina menggeser posisi merapat di dinding menuju arah dapur.

Insting menuntunnya menuju dapur. Sekali lagi, Mina merasakan pelipisnya berdenyut. Tampak tidak separah yang terlihat, namun rasa tidak nyaman dan nyerinya begitu mengganggu.

Denging yang seketika menyerang, menyakiti sekali rasanya hingga Mina berharap bisa berteriak keras mengerang untuk melampiaskan segala rasa yang menghantamnya begitu kuat secara tiba-tiba.

Keringat dingin seukuran biji jagung, menetes pelan-pelan dari pelipis, kening dan terus mengalir sampai dagu.

“Kenapa kau bersembunyi di sini, Mina Allerick?”

Jelas terkejut, Mina merosot terduduk ke lantai. Benar kata King, Austin ada di balik semua yang pernah menimpa dirinya. Terutama insiden buruk. Dimulai dari kejadian di rumah berlantai kaca.

“Suamiku benar. Kau ada kaitannya dengan apa yang terjadi padaku.” Mina tidak terlalu terkejut untuk fakta bahwa Austin adalah penyusup yang begitu lihai.

Austin berjongkok di hadapan Mina yang mengalami lemas, pusing. Ditatapnya Mina dengan raut datar, seolah ini kali pertamanya bertemu perempuan di depannya itu.

“Mundur,” gertak Mina. Suaranya tidak bergetar, namun tangannya tidak bisa mengelabui mata Austin yang paham kondisinya yang tidak stabil.

Austin menghalau pistol dalam genggaman Mina dengan cepat. Namun karena Mina begitu sigap dan awas, spontan dia menarik pelatuk.

Terkejut, Austin berguling ke samping, posisi langsung tiarap, lalu menjauh dari Mina. Suara tembakan seperti memantul dalam ruangan.

“Sudah kuperingatkan untuk mundur, kau masih saja ada di depanku.”

Dalam jarak kurang lebih sepuluh meter, Austin bangkit dari posisi tiarapnya. Kewaspadaan ditandai dengan memegang pistol jenis sama dengan yang digenggam Mina. Mereka saling menodongkan pistol dari jarak itu.

“Seharusnya, aku masih perlu bermain peran lebih lama. Tapi suamimu itu sudah mengendus perbuatanku terlalu cepat. Jadinya aku sulit bergerak.”

Dalam gemetar tubuhnya, Mina tertawa. “Dia selalu benar. Dia akan datang meski kularang.”

Austin membalas tawa Mina dengan kekehan pelan. “Kali ini tidak. Mungkin dia selalu benar, tapi dia tidak akan datang untukmu hari ini.”

Mina tidak terprovokasi, namun dia sedikit goyah dikarenakan sendirian. Situasi dan kondisi membawa pengaruh paling mendasar dalam dirinya. Padahal dulu dia sangat terbiasa ditindas habis-habisan oleh si sialan Gabin.

“Aku bukannya ingin membunuhmu,” kata Austin lagi. Kali ini dia menyembunyikan diri di balik dinding pemisah antara ruang tamu dan tengah. Melihat kuda-kuda Mina yang serius akan menembak asal, membuatnya harus sangat waspada. Seseorang yang nekat, pasti tidak takut mati.

“Lalu untuk apa semua yang kau lakukan?” Mina tidak fokus. Rasa sakit dan cemas terlalu mengganggu.

“Pencapaianku dimulai darimu. Perlu perjuangan keras untuk bisa menemukan perempuan kecil yang disembunyikan Gabin sekian lama.”

Gabin? Si sialan itu lagi? “Kau ....” Mina langsung ingat pada ucapan King tentang Gabin. Sesuatu yang serupa, sama. “Keluarga bayangannya?”

“Hahaha!” Tawa Austin bergema. “Kau bisa menganggapnya begitu. Yang jelas kau memang target sejak awal jauh sebelum kematian Gabin.”

Mina meluruskan tangan sejenak, merehatkan dari pegalnya menggenggam pistol sejak tadi. “Aku dijadikan umpan oleh Gabin?”

“No, no.” Austin tertawa, suaranya makin terdengar jauh. “Kau kunci menuju harta karun terbesar yang disembunyikan Gabin.”

Persetan! “Cepat ambil kalau begitu. Aku sungguh tidak mau disangkutpautkan dengan si bedebah itu lagi!”

Hening. Cuma terdengar napas Mina yang terengah lelah. Demam mulai menyerang. Sebisa mungkin Mina membuat dirinya sadar. Dalam benaknya terus memanggil-manggil nama King tanpa jeda. Berharap pria itu datang. Bukan cuma untuk melindunginya, tapi memeluk dan mencium dengan sepenuh hati.

Mina sudah nyaris kehilangan kesadaran sebanyak delapan puluh persen, ketika Austin muncul begitu cepat dan tiba-tiba di hadapannya. Mina menarik pelatuk, tanpa pikir panjang. Pistolnya ditendang Austin, berikut tangannya yang ikut terasa berdenyut akibat tendangan itu.

Merasa kalau pergelangan tangannya seakan patah, Mina berusaha melarikan diri dari Austin yang kemudian berniat menggapainya.

“Arrgh!”

Mina tersentak. Berbalik, melihat Austin tumbang di hadapannya. Yang tampak setelah Austin terjatuh ke tanah adalah King berdiri dengan tangan menggenggam pedang panjang. Barusan pria itu telah menebas Austin. Beruntung bukan kepala yang dibuat putus.

“Kau tidak akan pernah aman bersama Red.”

𝐌𝐚𝐤𝐞 𝐘𝐨𝐮 𝐌𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang