07 : keputusan Akhir.

16 7 1
                                    

◉ jangan lupa vote & komen.

Di pagi hari...

Entah apakah ini hanya perasaan safina atau bagaimana, soalnya cerah datang begitu cepat. Sampai Safina tidak tersadar karena masih nyaman terbaring di atas sajadah, tiba-tiba sinar matahari perlahan menembus gorden yang menutupi kaca jendela kamarnya. Safina melepas mukena yang ia pakai, pasalnya ketika tidur kembali ia masih memakai mukenanya, setelah itu ia berjalan melongok pemandangan yang indah diluar.

Langit fajar terlihat begitu indah, Bintang-bintang pun masih terlihat meski jauh disana. Safina menghirup segarnya udara di pagi itu yang belum terkontaminasi dengan polusi. Kicauan burung terdengar dengan saling sahut-menyahut, bunga-bunga bermekaran bebas, serta embun pagi yang terasa sejuknya. Benar-benar suasana yang sangat mendamaikan perasaan dan memanjakan mata yang memandang. Hanya saja, keindahan itu belum mampu membuat perasaan gelisah Safina menghilang.

Semakin malam berlalu, semakin Safina merasa tidak karuan karena akan bertemu dengan Alzan beserta keluarganya di pagi ini. Pertemuan kali ini bukanlah pertemuan yang biasa, melainkan penentuan keputusan akhir Safina, tentang perjodohanya dengan Alzan. Yang membuat keadaan semakin rumit adalah karena Safina harus memikirkan perasaan reza, karena diri sedang dekat dengan nya. Namun bagaimanapun, Safina harus memberikan kepastian kepada keduanya, ia tidak ingin terus berada diposisi sekarang yang dimana ia merasa tengah mempermainkan dia hati.

Harus ada yang di korbankan dan diikhlaskan. Sebuah kalimat yang terucap oleh lisan Safina.

Ucapan barusannya memang benar adanya, Safina tidak mungkin untuk menampung dua perasaan pria dalam satu hati kecilnya, memang harus ada yang dikorbankan, dan orang yang akan dikorbankan itulah yang membuat Safina uring-uringan kebingungan.

"Kak, sarapan yuk!" Ajak Zidan yang tengah berada didepan kamar safina, dengan suara beratnya yang membuat jantung Safina seakan terhenti sejenak.

"Mager!" Safina menyahut dari dalam kamar. Sungguh, Safina sudah nyaman duduk berada ditepian jendela dengan menatap pemandangan yang indah di pagi itu dan tidak ingin untuk beranjak sama sekali.

"Ayah manggil, tuh".

Safina menghembuskan napas frustasi. " IYA, IYA!"
Dengan langkah layaknya kungkang yang dipaksa untuk berjalan, Safina membuka pintu dan menampakkan wajah malasnya pada Zidan. Laki-laki itu malah tergelak melihat wajah malas Safina, membuat Safina ingin melempar barang ke depan wajahnya.

Zidan merangkul Safina bersemangat. "Jelek amat lo, pagi-pagi udah malas aja, yang seger napa, pagi ini lagi cerah tahu!"

"Paginya emang cerah, tapi perasaan gue gak secerah suasana di pagi hari ini, melainkan perasaan gue lagi suram." Safina mendengus sebal dan berusaha menyingkirkan lengan berat Zidan yang melingkari bahunya.

Pada akhirnya, Safina menuruni tangga dengn langkah yang bersamaan dengan Zidan. Alih-alih mengajak untuk sarapan, Zidan malah membawa Safina menghadap Erlan diruang tamu. Sepertinya anak lelaki itu sedang mencari perhatian dengan ayahnya.

"Gimana? Udah punya keputusan buat nanti?" tanya Erlan dengan memfokuskan pandangannya pada Safina.

"Udah."

"Woww, Apa tuh?" tiba-tiba Zidan ikut duduk disofa dan langsung ikut menimbrung pembicaraan Safina dan Erlan. "Spill ke gue dong kak!" sambungnya.

"Ah, nggak tahu, pusing banget." Safina menundukan kepalanya sambil memijat kuat dahinya. Zidan yang berada disebelah Safina bersimpati dan memijat-mijat bahu sangat kakak.

Cinta yang tak terlupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang