18. Bertanya-tanya

695 88 11
                                    

“Kamu ingat sesuatu tentang kita dulu?” Chika bertanya dengan nada suara selembut bayu malam, menggulirkan jarinya dengan lembut melalui rambut Aran yang sedang berbaring di pangkuannya.

Keduanya duduk di sofa ruang tamu, diterangi oleh cahaya senja yang masuk melalui tirai tipis jendela, mewarnai ruangan dengan semburat oranye yang hangat dan melankolis. Wangi lilin aroma lavender samar tercium, menenangkan suasana yang terasa tegang.

Aran mengerutkan dahi, mencoba menangkap bayangan kenangan yang kabur. “Nope. Apa karena gue kebanyakan tidur waktu itu?” Dia akhirnya menjawab dengan sedikit canggung, suaranya terdengar serak dan bergetar ringan.

Laki-laki itu menatap dalam mata Chika, mencari tanda di wajahnya yang mungil dan oval, berharap mendapatkan petunjuk. Namun, hanya ada sepasang mata cokelat yang berkaca-kaca, menyiratkan campuran antara keinginan dan penyesalan.

Chika tersenyum tipis, senyum yang lebih seperti refleksi daripada ekspresi perasaan. Dia mengangkat kepala Aran dari pangkuannya, merasakan berat kepala itu meninggalkan pangkuannya, seolah melepaskan beban emosional.

“Udah jam empat, aku harus menyiapin makan malam,” katanya, menormalkan situasi dengan kegiatan sehari-hari. Langkahnya terasa ringan tapi berisi, menyusuri lantai kayu yang licin dan berkilau.

Saat Aran bangkit berdiri, dia melemparkan jaketnya ke lantai dengan sembarangan. Bunyi jaket yang terjatuh di lantai kayu menciptakan suara lembut yang bergema di seluruh ruangan, namun dampaknya pada Chika jauh lebih besar.

“Raaaan!” Chika memekik, suaranya melengking dan penuh kejutan. Dia berbalik, melihat jaket itu tergeletak tak berdaya di lantai, seperti simbol dari kekacauan kecil yang bisa berubah menjadi masalah besar.

Aran menoleh dengan lambat, wajahnya menampilkan kebingungan yang tulus. “Apa sayang?” tanyanya, suaranya datar, seperti tidak menyadari kesalahan yang baru saja dibuatnya. Suasana ruangan terasa semakin menegang, udara di sekeliling mereka terasa berat dan dingin, meskipun AC baru saja dinyalakan.

Chika menghela napas, berusaha menahan amarah yang mendidih. “Tolong pungut jaket kamu dan taro di tempatnya,” perintahnya dengan nada yang tegas, menunjuk jaket dengan dagunya. Ada nada memerintah dalam suaranya, tetapi juga kelelahan yang tak bisa disembunyikan.

Aran berjalan perlahan, merasakan tekstur lembut jaketnya di tangan saat ia mengangkatnya. “Maaf ya, ibu negara.”

“It's fine.” Chika mengangguk lalu bertolak menuju dapur cantik.

“Chiiik,” panggil laki-laki itu membuat langkah Chika tertahan di depan pintu kulkas yang kembali dia tutup.

“Ya?” Chika memutar tubuhnya dan memberikan senyum simpul.

Dan Aran berkata. “Apapun yang terjadi di masa lalu, aku minta maaf ya.” gumamnya dengan setengah tersenyum.

Chika hanya menatap Aran sejenak dan tidak berkata apa-apa. Wanita itu kemudian berbalik menuju dapur. Di sana, dia membuka kulkas, merasakan hembusan udara dingin yang mengalir keluar dan sejenak mendinginkan wajahnya. Ia mengeluarkan bahan-bahan masakan dan mulai mempersiapkannya, suara pisau yang mengiris sayuran terdengar nyaring di antara keheningan mereka, menambah kesan tegang dan canggung.

Tahu-tahu tangisan Ferrel terdengar dari kamar. Chika hendak melangkah, tetapi Aran menyentuh lengannya, menghentikannya dengan sentuhan yang lembut dan hangat.

“Biar gue aja,” katanya, suaranya lembut, tetapi penuh arti. Dia berjalan menuju kamar bayi, langkahnya cepat namun hati-hati, seolah takut membuat kebisingan yang tidak perlu.

Di kamar, Ferrel terbaring di box bayi, matanya yang besar dan berair mencari-cari sumber kenyamanan. Aran mengangkatnya dengan lembut, merasakan tubuh kecil yang hangat di pelukannya. Ferrel menyentuh wajah Aran dengan jari-jarinya yang mungil, dan Aran merasakan sentuhan itu seperti sihir, menenangkan setiap kegelisahan yang ada di hatinya.

“Lucu banget, sih,” Aran berbisik, mencium pipi Ferrel yang lembut dan kenyal. Aroma bayi yang khas, campuran antara bedak dan sabun, membuat Aran tersenyum. Ferrel tertawa kecil, suaranya nyaring dan jernih, mengisi ruangan dengan kegembiraan yang murni.

Aran membawa Ferrel kembali ke ruang tamu, menyalakan smart TV dan memutarkan video Cocomelon. Warna-warna cerah dan lagu-lagu ceria dari video itu memenuhi ruangan, namun tidak mampu menghilangkan rasa hampa yang perlahan merayap masuk. Aran dengan telaten mengganti popok Ferrel, merasakan tekstur halus kulit bayinya dan kelembutan kain popok yang baru.

Sementara itu, Chika melanjutkan memasak di dapur. Aroma harum bumbu yang digoreng menguar, memenuhi ruangan dengan kehangatan dan rasa nyaman. Suara gemerincing alat-alat masak, desis minyak panas, dan potongan sayuran yang jatuh ke panci memberikan latar belakang suara yang hidup, namun terasa asing dalam keheningan yang membeku di antara mereka.

Ketika akhirnya mereka duduk bersama untuk menyantap makan malam, suasana terasa lebih berat dari sebelumnya. Cahaya dari lampu gantung yang lembut menambah kesan intim. Namun, jarak emosional di antara mereka terasa semakin nyata. Makanan tersaji dengan rapi, setiap piring disusun dengan penuh perhatian, tetapi ada perasaan hampa yang tidak bisa diabaikan.

Di tengah makan, Chika akhirnya membuka suara. “Aku mau kita bisa lebih jujur satu sama lain,” ucapnya, suaranya lembut namun tegas. Kata-kata itu keluar dengan hati-hati, seolah dia takut kata-kata tersebut akan meruntuhkan dinding yang telah dibangun dengan susah payah.

Aran menatapnya, matanya penuh dengan penyesalan dan pengertian. “Gue juga,” jawabnya pelan, suaranya terdengar serak dan lelah. Dia merasakan sejuknya udara malam yang masuk dari jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma segar dari luar, namun tidak mampu menyapu bersih rasa berat di dadanya.

Malam itu, mereka duduk bersama, tetapi terasa seperti dua orang asing yang terjebak dalam kebisuan yang tidak nyaman. Suara TV dan tawa Ferrel menjadi satu-satunya hiburan, pengingat bahwa di tengah semua ini, ada hal-hal kecil yang masih bisa mereka nikmati bersama.

Keduanya tahu bahwa hubungan mereka tidak akan sembuh dalam semalam, dan bahwa ada banyak hal yang perlu diatasi. Namun, ada harapan kecil yang masih menyala, bahwa mereka bisa menemukan jalan untuk kembali satu sama lain.

Setidaknya Aran ingin Chika membantunya menemukan kepingan masa lalunya yang hilang dan mengapa dia tidak bisa mengingatnya sedikit pun. Padahal, Aran ingin tahu seseru apa drama mereka di masa lalu.

SCANDAL (Chikara) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang