14. Belajar menjadi Ayah

1.7K 103 8
                                    

Dunia terus berputar di sekitar porosnya. Siang berganti malam, dan malam kembali menjadi pagi. Hujan deras mendadak berubah menjadi terik matahari, seakan alam bermain drama yang tak terduga. Ketidakstabilan cuaca ini membuat siapa pun rentan terkena penyakit jika tubuh tidak dalam kondisi prima.

Di dapur yang sederhana namun nyaman, Chika berdiri dengan rambut cokelat mudanya yang tergerai, sibuk memotong tomat dengan pisau dapur. Suara potongan tomat yang berderit di papan kayu memecah keheningan, menggugah telinga dengan ritme yang monoton namun menenangkan.

Setiap irisan yang ia buat menimbulkan getaran halus di telapak tangannya, membuatnya merasa terhubung dengan tugasnya. Bau manis tomat segar bercampur dengan aroma kayu dari papan potong memenuhi hidungnya, menciptakan simfoni yang harmonis.

Tiba-tiba, suara bersin keras memecah kesunyian.

"Hachim!"

Chika mengusap hidungnya yang berair dengan ujung apron basahnya, merasakan tekstur kain yang kasar dan lembap di kulitnya. Gatal yang menyerang hidungnya membuatnya sering bersin akhir-akhir ini. Namun, dia tidak membiarkan hal itu mengganggu konsentrasinya. Tangannya kembali mengiris tomat, merasakan tekstur lembut dan basah di ujung jari-jarinya, seperti sentuhan dingin yang menyegarkan.

Ia mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, namun udara terasa berat dan pandangannya mulai kabur. Dunia di sekelilingnya tampak berputar sejenak, membuatnya kehilangan keseimbangan.

"Hachim!"

Bersin yang lebih keras kali ini membuat potongan tomat di tangannya bergetar dan terkena percikan air dari hidungnya. Chika menggeleng pelan, mencoba mengatasi rasa pusing yang melanda. Tekadnya untuk tetap menyelesaikan tugasnya mengalahkan rasa tidak nyaman yang semakin menyelimutinya.

Di sudut ruangan, Aran berdiri diam. Matanya memperhatikan Chika dengan penuh kecemasan. Dari ujung rambutnya yang basah oleh keringat hingga wajah pucatnya, jelas terlihat Chika tidak sehat. Suasana dapur yang tadinya tenang kini dipenuhi kekhawatiran.

"Chik!" panggil Aran dengan suara yang tenang namun penuh perhatian.

Chika berbalik, menatapnya dengan wajah pucat dan lesu. "Aku pilek, hachim! Kepalaku pusing," sahutnya dengan napas terengah-engah, seakan setiap kata membutuhkan usaha besar.

Aran mengangguk pelan, merasakan iba melihat keadaan Chika yang tidak fit. "Lo istirahat aja," usulnya dengan nada yang memerintah namun penuh kasih sayang. "Kan hari ini lo harus masuk kerja?"

Chika mengangguk lemah, siap meninggalkan dapur. Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang menggantung di kakinya. Suara tangis bayi dari kamar sebelah semakin menggema, memenuhi ruangan dengan gelombang emosi yang intens.

"Oweeee... Oweeee...!"

"Ran, Ferrel nangis!" panggil Chika dari dalam kamar, suaranya gemetar memperlihatkan kelelahan yang dalam.

Aran segera menghampiri kamar, menemui Ferrel yang berguling-guling di atas kasur kecilnya. Suara tangis bayi sebelas bulan itu mengiris telinganya, memunculkan perasaan tidak berdaya. Ia segera menggendong Ferrel, tubuh kecilnya terasa hangat dan sedikit lembap karena keringat, serta mencoba meredakan kegelisahan anaknya.

"Sssttt... Ayah ada di sini, nak," bisik Aran, suaranya hangat, mencoba menenangkan Ferrel yang terus menangis dengan keras. Ia mengusap punggung Ferrel yang lembut, merasakan napas cepat bayi itu di lehernya, mencoba menyerap ketenangan dari sentuhan ayahnya.

Chika keluar dari kamar, memperhatikan Aran yang berusaha keras menenangkan Ferrel. Ia tersenyum lembut, menghampiri Aran dengan langkah ringan. Mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh pengertian.

SCANDAL (Chikara) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang