16. Cikal bakal Keluarga kecil

877 131 11
                                    

Pagi menyapa apartemen mewah mereka dengan lembut, memancarkan sinar kuning hangat yang merayap masuk melalui jendela besar. Cahaya itu menciptakan bayangan-bayangan lembut di lantai kayu yang mengeluarkan aroma hangat dan segar. Udara masih terasa sejuk dan berembun, memberikan kesegaran yang menyenangkan di udara.

Tiba-tiba, tangisan Ferrel menggelegar di dalam kamar. Suaranya yang serak dan penuh kepedihan menggema di seluruh ruangan, membangunkan Aran dari dunianya yang dipenuhi tumpukan berkas di ruang kerjanya.

Perasaan tegang menjalar di punggungnya saat ia bergerak cepat menuju kamar si kecil. Langkahnya yang terburu-buru menghasilkan derit pelan di lantai kayu yang memantulkan kekhawatiran yang ia rasakan.

Ferrel terbaring di ranjang bayi, tubuh kecilnya gemetar dalam tangisan sedihnya. Wajahnya memerah, dan tangannya menggenggam erat sprei di sekitarnya.

Sang ayah segera mendekat, merasakan panas yang memancar dari tubuh mungil Ferrel, dan kelembutan kulitnya yang basah oleh air mata. Aroma khas bayi yang segar tercampur dengan sedikit asin dari keringatnya menyentuh indera penciumannya.

Di ruang tengah, cahaya matahari memancar terang, mengungkapkan partikel-partikel debu yang melayang-layang di udara. Bau manis bubur pisang dari sarapan pagi masih tercium di udara, mengundang kenangan tentang pagi-pagi bersama keluarga. Namun, keindahan pagi itu berkontras dengan kekhawatiran yang menghantui pikiran Aran.

“Chucky belum makan kan? Chucky mau ASI atau bubur pisang, hm?”

Suara lembut Aran memecah keheningan. Ia menyentuh pipi putranya yang masih basah oleh air mata dengan lembut. Bibirnya merasakan rasa asin dari air mata yang tercampur dengan manis alami kulit bayi. Ferrel menatapnya dengan mata besar yang berair, bibirnya bergetar dalam isakan kecil yang memecah hati.

Pria itu menarik napas dalam-dalam, suaranya berat dan dalam. Hatinya terasa remuk melihat putranya yang belum mampu bicara namun menyimpan begitu banyak perasaan dalam mata kecilnya. Dengan hati yang hancur, Aran berjalan ke dapur. Suara pintu kulkas yang terbuka menghembuskan angin dingin, memberi sedikit ketenangan pada kegelisahan yang dirasakannya.

Alat pemanas susu mengeluarkan suara lembut saat Aran mengambil botol susu dari kulkas. Di atas meja, sepotong pisang kuning menunggu untuk diolah. Dengan hati-hati, ia memotong pisang menjadi potongan kecil dengan pisau, suara halus dari pisau yang memotong talenan kayu bergema di dapur. Bau manis pisang menggantikan aroma susu yang mulai menghangat.

Dia meremas pisang hingga lembut menggunakan alat khusus. Dia menyendokkan bubur pisang ke dalam mulut Ferrel. Lidah kecil anaknya mengecap rasa manis alami buah yang lembut, dan senyum kecil muncul di wajah mungil Ferrel. Melihat senyuman itu, mata Aran berkaca-kaca, merasakan kehangatan yang memenuhi hatinya.

“Hnnnnggg...”

“Mau tambah lagi ya, Nak?”

Aran terus menyuapi putranya, sesekali mengambil sisa-sisa bubur yang tersisa di bibir Ferrel dengan lembut. Setiap sendokan, setiap tatapan dari mata kecil itu, mengingatkan Aran pada janjinya untuk selalu melindungi dan merawat anaknya. Setiap suapan terasa seperti sebuah pengorbanan kecil namun penuh makna.

“Makanmu banyak sekali, jagoan. Mamamu pasti senang. Makan yang banyak ya biar cepat gede,” ujar Aran sambil menyuapi bubur terakhirnya.

“Ba-ba-ba...”

“Iya, iya, nanti kita bilang pada Mama biar cepat pulang, ya,” Aran menjawab lebih pada dirinya sendiri, merindukan kehadiran Chika yang sibuk di studio rekaman. Perasaan rindu yang mendalam membuat hatinya terasa hampa meski Ferrel berada di pelukannya.

Ferrel dengan tenang menghabiskan bubur dan botol ASI-nya. Sepuluh menit kemudian, Aran meletakkannya di lantai beralaskan karpet lembut agar si Dedek tidak mudah terluka maupun terpeleset. Tekstur lembut karpet terasa nyaman di tangan Aran saat ia membaringkan anaknya.

SCANDAL (Chikara) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang